فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ
“… Terangkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shadaqah (zakat) terhadap mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka kemudian dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka.”
Perintah dalam sabda di atas berlaku mutlak, yang menandakan bahwa kedudukan antara seorang mukallaf dan yang bukan mukallaf adalah sama.
Berangkat dari kesimpulan di atas, wali (dari anak kecil atau orang tidak waras) mengeluarkan zakat dari harta yang menjadi amanah di pundak mereka.
Kedua: Zakat Orang yang Berutang
Bila seseorang mempunyai harta yang telah mencapai nishab, tetapi dia juga memiliki utang yang semisal dengan hartanya yang telah mencapai nishab tadi, atau harta tersebut tidak mencapai nishab apabila ia melunasi utangnya, apakah dia wajib mengeluarkan zakat?
Contoh: seseorang mempunyai harta sebesar Rp. 50 juta. Namun, dia memiliki utang sebanyak Rp. 50 juta pula. Setelah harta itu dimiliki selama satu haul, apakah ada kewajiban zakat padanya?
Para ulama juga berselisih pendapat dalam hal ini, tetapi pendapat yang lebih benar adalah bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakat sepanjang harta tadi masih berada di dalam kepemilikannya. Pendapat ini berdasarkan hadits-hadits umum tentang kewajiban zakat terhadap seseorang apabila harta telah mencapai nishab. Dalam hadits-hadits beliau, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam meminta para pekerjanya untuk mengambil zakat, tanpa mempertanyakan apakah pemilik harta memiliki hutang atau tidak. Wallâhu A’lam.
Ketiga: Zakat Piutang
Yakni, seseorang meminjamkan suatu harta kepada orang lain, dan harta tersebut telah mencapai syarat-syarat kewajiban zakat. Letak permasalahan adalah bahwa harta tersebut tidak berada pada si pemilik piutang, tetapi berada pada si peminjam. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang zakat piutang ini.
Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa kewajiban zakat pada piutang terbagi ke dalam dua keadaan:
bila si peminjam mampu mengembalikan pinjamannya.
Dalam keadaan ini, si pemilik piutang wajib mengeluarkan zakat dari pinjaman tersebut karena pinjaman tersebut mampu diambil oleh pemilik piutang kapan pun dia berkehendak, seakan-akan piutang itu telah berada di tangan pemilik piutang.
Jika si peminjam sulit mengembalikan pinjamannya.
Bila si peminjam sulit atau tidak mampu mengembalikan pinjamannya, si pemilik piutang tidak wajib mengeluarkan zakat dari harta tersebut.
Namun, bila suatu hari si peminjam mengembalikan pinjaman kepada pemiliknya, sedang harta tersebut telah melebihi satu haul, apakah si pemilik harus mengeluarkan zakatnya?
Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran dalam hal ini adalah bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban zakat terhadapnya karena salah satu syarat pewajiban zakat adalah harta berada dalam kepemilikan tetap dan telah dimiliki selama satu haul. Akan tetapi, bila si pemilik piutang mengeluarkan zakat dari piutang yang baru diterima tersebut sebagaimana seseorang yang mengeluarkan zakatnya setelah setahun, hal itu lebih baik dan lebih berhati-hati. Wallâhu A’lam.
Keempat: Menggugurkan Piutang dengan Niat Mengeluarkan Zakat
Bila seseorang mempunyai piutang pada orang lain, sementara dia sendiri wajib mengeluarkan zakat. Apakah dia boleh menggugurkan piutang tersebut (menganggap bahwa piutang itu telah lunas) dengan meniatkan piutang itu sebagai zakat yang dia keluarkan?
Maksud penyaluran zakat adalah memberi santunan dan mengeluarkan harta untuk siapa saja yang berhak mendapatkannya. Hal ini berbeda dengan pengguguran piutang yang bersifat pembebasan, bukan pemberian dan penyaluran. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menggugurkan piutangnya dengan meniatkan piutangnya sebagai zakat.
Kelima: Keberadaan Harta Bukanlah Syarat pada Kewajiban Zakat
Makna ketentuan di atas adalah bila terjadi suatu penyebab, misalnya seseorang memiliki sejumlah harta yang telah mencapai nishab, tetapi tiba-tiba harta tersebut dicuri, atau misalnya seseorang memiliki barang yang telah terkena kewajiban zakat pada suatu toko, tetapi tiba-tiba toko itu terbakar. Dalam hal ini, kewajiban zakat tidaklah gugur terhadap pemiliknya selama penyebab kerusakan atau kehilangan barang tersebut berasal dari keteledoran atau kelalaiannya. Namun, kalau kerusakan atau kehilangan harta terjadi secara tidak sengaja, diluar dari kemampuan si pemilik, pemilik tersebut tidak wajib mengeluarkan zakat.
Hal ini karena zakat adalah kewajiban yang melekat pada tanggung jawab pemilik setelah harta tersebut terpenuhi hukum wajib zakat. Ibarat suatu amanah yang, kalau ditelantarkan, kita wajib menggantinya. Wallâhu A’lam.
Keenam: Zakat Adalah Utang yang Melekat pada Harta Warisan
Bila meninggal dalam keadaan belum menunaikan kewajiban zakatnya, seseorang tetap wajib mengeluarkan zakat (melalui ahli warisnya) dari harta warisannya, walaupun dia tidak berwasiat. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَاقْضُوا الَّذِى لَهُ ، فَإِنَّ اللَّهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
“Tunaikanlah segala hal yang merupakan hak Allah karena (hak) Allah lebih berhak untuk dipenuhi.”
Ketujuh: Jenis Harta yang Dikeluarkan Zakatnya
Jenis-jenis harta yang dikeluarkan zakatnya adalah:
Hewan ternak, Hasil bumi, buah-buahan, serta biji-bijian dan yang semakna dengannya, berupa makanan yang bisa ditakar/ditimbang dan bisa disimpan.
Emas dan perak, serta apa saja yang semisal dengannya, seperti mata uang dan obligasi.
Barang-barang yang diperdagangkan.
Ada beberapa pembahasan yang berkaitan dengan ar-rikâz, hasil tambang, bebatuan berharga, perhiasan, dan madu, yang insya Allah akan dijelaskan pada tempatnya.
Kedelapan: Pengecualian terhadap Jenis di atas
Tidak ada kewajiban zakat pada seluruh jenis yang tidak tergolong ke dalam harta yang terkena kewajiban zakat dan harta perdagangan, yakni bangunan tempat tinggal, mobil pribadi, pakaian, dan semisalnya.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ صَدَقَةٌ
“Tiada shadaqah (baca: zakat) atas seorang muslim terhadap (kepemilikan) budak dan kudanya.”
_Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi hafizhahullah_
0 komentar:
Posting Komentar