Syariat berpuasa bisa dipahami dari hadits Ibnu ‘Abbâs yang telah lalu karena berpuasa juga termasuk “amal shalih” yang disyariatkan pada sepuluh awal Dzulhijjah dalam hadits tersebut.
Bismillahirrahmanirrahim Dengan hanya mengharap ridha Allah 'Azza Wa Jalla Hadirilah Tabligh Akbar Nasional Ulama Timur Tengah Dengan Tema "Pilar Kejayaan Negeri dan Sebab K...
Read moreTidak diragukan bahwa keberadaan kita yang mendapati hari Id bertepatan dengan hari Jum’at adalah karunia dan nikmat Allah yang sangat besar. Akan tetapi, ketika hari Id b...
Read moreSyarat Pewajiban Zakat Setelah kita memahami akan kewajiban zakat pada harta, harus diketahui pula bahwa, dalam pewajiban zakat tersebut, terdapat lima syarat yang harus terpe...
Read moreUntuk zakat fitri, ada beberapa pembahasan yang perlu dijelaskan, Pertama, definisi zakat fitri Zakat fitri terdiri dari dua kata; kata zakat dan kata fitri. Telah dijelaska...
Read moreRabu, 23 November 2016
Syariat Puasa pada Awal Dzulhijjah
Syariat berpuasa bisa dipahami dari hadits Ibnu ‘Abbâs yang telah lalu karena berpuasa juga termasuk “amal shalih” yang disyariatkan pada sepuluh awal Dzulhijjah dalam hadits tersebut.
Juga dari dasar tuntunan dalam hal ini adalah riwayat dari sebagian istri Nabi radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا
مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ أَوَّلَ
اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa
pada hari ‘Asyurâ, pada sembilan hari Dzulhijjah, dan pada tiga hari
dalam sebulan: senin awal dari bulan (berjalan) dan dua kamis.” [1]
Hadits di atas merupakan dalil tegas tentang syariat berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah: delapan hari pada awal bulan[2] dan hari kesembilan yang dikenal dengan hari ‘Arafah.
Hadits di atas tidaklah bertentangan dengan hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâbahwa beliau bertutur,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ.
“Saya sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh (hari awal Dzulhijjah).” [3]
Keterangan Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ di atas dijelaskan oleh para ulama bahwa Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ mungkin saja tidak pernah melihat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa tersebut, tetapi bukan berarti Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan puasa itu karena beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin saja berada di rumah Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ pada
satu hari di antara hari-hari awal Dzulhijjah dan berada di rumah
istri-istri beliau yang lain pada hari-hari lain. Atau, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mungkin
mengerjakan sebagian puasa tersebut pada suatu tahun, mengerjakan
sebagian puasa tersebut pada tahun lain, dan mengerjakan seluruh puasa
itu pada tahun yang lain lagi. Atau, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan
pelaksanaan puasa tersebut pada sebagian tahun karena suatu penghalang
berupa safar, sakit, atau selainnya. Demikian makna keterangan Imam
An-Nawawy rahimahullâh.[4]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh [5] berpandangan bahwa keterangan Aisyahradhiyallâhu ‘anhâ di atas mungkin saja sebagaimana zhahirnya –yaitu Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan puasa tersebut- karena beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam kadang
meninggalkan suatu amalan, meskipun mencintai amalan tersebut, dibangun
di atas kekhawatiran beliau bahwa amalan itu akan menjadi wajib
terhadap umatnya.
Adapun Al-Baihaqy rahimahullâh [6] dan Ibnul Qayyim rahimahullâh [7], keduanya berpandangan bahwa hadits sebagian istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallamtersebut,
yang menerangkan bahwa beliau berpuasa pada sembilan hari awal
Dzulhijjah, lebih didahulukan dan lebih diterima daripada keterangan
Aisyahradhiyallâhu ‘anhâ berdasarkan kaidah “Orang yang menetapkan lebih didahulukan daripada orang yang menafikan.”[8]
Demikianlah keterangan tentang sunnahnya[9] puasa
pada sembilan hari awal Dzulhijjah, dan puasa tersebut dikerjakan pada
tanggal 1-9 Dzulhijjah. Adapun perbuatan sebagian orang yang
mengkhususkan puasa hanya pada tanggal 7, 8, dan 9 Dzulhijjah, hal itu
termasuk bentuk pengkhususan ibadah yang tidak memiliki dalil.
[1] Diriwayatkan oleh Ahmad 5/271, 6/288, 423, Abu Dâwud no. 2437, An-Nasâ`iy 4/205, 220-221, serta Al-Baihaqy 4/284 dan dalam Syu’abul Îmân 3/355 dari jalan Hunaidah bin Khâlid, dari istri (Hunaidah), dari sebagian istri Nabi, dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud. Walaupun
terdapat sebagian perselisihan dalam periwayatannya, insya Allah, jalan
di atas adalah jalan yang terkuat dan bisa dishahihkan. Dalam riwayat
Abu Dâwud, diriwayatkan dengan konteks (والخميس), maksudnya
adalah tiga hari dalam sebulan, yaitu awal senin, kamis, dan satu hari
yang lain. Demikian keterangan Al-Baihaqy setelah membawa riwayatnya
seperti riwayat Abu Dâwud.
[2] Dalam Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah pada
pembahasan puasa sunnah, disebutkan bahwa puasa delapan hari awal
adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama ahli fiqih. Namun, dalam Lathâ`if Al-Ma’ârif hal.
277 (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsiyah), Ibnu Rajab hanya
menyebutkan bahwa sunnahnya adalah merupakan pendapat kebanyakan para
ulama.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1176, Abu Dâwud 2439, At-Tirmidy no. 755, dan selainnya.
[4] Bacalah Al-Majmû’ dan Syarh Muslim 8/71-72.
[5] Bacalah Fathul Bâry 2/460.
[6] Bacalah As-Sunan Al-Kubrâ` 4/285.
[7] Baca Zâdul Ma’âd 2/61.
[8] Penjelasan
An-Nawawy, Al-Baihaqy, dan Ibnul Qayyim juga diterangkan oleh Ibnu
Rajab dengan membawakan beberapa keterangan tambahan. Silakan membaca
buku beliau, Lathâ`if Al-Ma’ârif, hal. 277-278 (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-Haditsiyah).
[9] Bahkan, menurut Imam An-Nawawy rahimahullâh, itu adalah puasa yang sangat disunnahkan. Bacalah Syarh Muslim 8/71.
Sumber: http://dzulqarnain.net/syariat-puasa-pada-awal-dzulhijjah.html
0 komentar:
Posting Komentar