Selasa, 03 Juli 2018

Tabligh Akbar Nasional Ulama Timur Tengah


Bismillahirrahmanirrahim

Dengan hanya mengharap ridha Allah 'Azza Wa Jalla

Hadirilah
Tabligh Akbar Nasional
Ulama Timur Tengah

Dengan Tema
"Pilar Kejayaan Negeri dan Sebab Kehancurannya"

Bersama:
1. Syaikh Prof. Dr. Washiyullah 'Abbas
(Ulama Besar Arab Saudi, Guru Besar Jurusan Al-Kitab wa As-Sunnah Fakultas Dakwah & Ushuluddin Univ Ummul Qura', Pengajar di Masjidil Haram Makkah, Arab Saudi)

2. Syaikh Prof. Dr. 'Ashim bin Abdillah Al-Qaryutiy
(Kelahiran Palestina, Kebangsaan Yordania, Guru besar Jurusan Sunnah Nabawiyah Fakultas Ushuluddin Univ Malik Muhammad bin Su'ud Riyadh, Belajar pada sejumlah Ulama Kibar Saudi-India-Pakistan)
hafizhahumallah

Penerjemah
- Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi
- Ustadz Ibnu Yunus
- Ustadz Luqman Jamal, Lc. hafizhahumullah

Waktu:
Insya Allah Ahad,
24 Syawwal 1439 H
8 Juli 2018 M
Pukul 08.30-21.00 WITA

Tempat:
Masjid Agung Syekh Yusuf
Jl. Masjid Raya, Sungguminasa
Gowa, Sulsel

[https://goo.gl/maps/dYAfTTWFrsC2]

Gratis, Terbuka untuk Umum
Muslim & Muslimah

Penyelenggara:
- Yayasan As-Sunnah Makassar
- Pemkab Gowa

Didukung oleh:
- Pesantren As-Sunnah Makassar
- Markaz Dakwah Untuk Bimbingan, Taklim, dan Keamanan Berpikir
- Pesantren Tahfizhul Qur'an Al-Ilmu Makassar
- Madrosah Sunnah Makassar
- Pesantren As-Sunnah Gontang
- Pesantren Tanwirussunnah Gowa
- Pesantren Al-Ihsan Gowa
- Pesantren Tahfizhul Qur'an As-Sunnah Takalar
- Pesantren As-Sunnah Panciro
- Pesantren Tahfizhul Qur'an As-Sunnah Sidrap
- Pesantren Darul Hijrah Pinrang
- Pesantren Ibnu Abbas Bulukumba
- Pesantren As-Sunnah Mamuju
- Lembaga Dakwah Sunnah Silsilah Durus

Informasi:
- Kamal Haris 081325705264
- Siraj 085242520272
- Muhajir 08124188595

Disiarkan langsung di:
- Radio An-Nashihah Takalar 88,2 FM (radio.an-nashihah.com)
- Radio Syiar Tauhid Depok 675 AM (syiartauhid.info)
- Radio Syiar Tauhid Banda Aceh 96,1 FM (syiartauhidaceh.com)
- Radio Al-Madinah Solo (almadinah.or.id)

Infaq dan partisipasi bisa disalurkan ke,
Bank Mandiri 174-00-0138609-3
a.n. Panitia Daurah Ilmiah

Konfirmasi Transfer:
- Lukman Hakim 0811547227
- Muhajir 08124188595‎

#PILARKEJAYAANNEGERIDANSEBEBKEHANCURANNYA
#TAUASMks2018

Selasa, 12 Juni 2018

Ied Bertepatan Hari Jumat


Tidak diragukan bahwa keberadaan kita yang mendapati hari Id bertepatan dengan hari Jum’at adalah karunia dan nikmat Allah yang sangat besar.

Akan tetapi, ketika hari Id bertepatan dengan hari Jum’at, banyak yang mempertanyakan tentang hukum pelaksanaan shalat Jum’at pada hari tersebut.
Tentang simpulan pembahasan dalam masalah apabila hari Id bertepatan dengan hari Jum’at, terdapat silang pendapat di kalangan ulama:
Pendapat pertama, kewajiban Jum’at tidaklah gugur terhadap siapa saja yang telah menghadiri shalat Id. Ini adalah pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Hazm. Ibnu Qudâmah menyebutnya sebagai pendapat kebanyakan ahli fiqih.
Pendapat kedua, shalat Jum’at tetap wajib dan hanya digugurkan untuk siapa saja yang telah menghadiri shalat Id di antara orang-orang yang tinggal di lembah, badu, dan semisalnya. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syâfi’iy dan salah satu riwayat dari Imam Malik.
Pendapat ketiga, siapa saja yang telah menyaksikan shalat Id, gugur terhadapnya kewajiban menghadiri shalat Jum’at. Namun, imam masjid tetap wajib menegakkan shalat Jum’at agar shalat ini dihadiri oleh siapa saja yang ingin hadir. Ini adalah pendapat Asy-Sya’by, An-Nakha’iy, Al-‘Auzâ’iy, dan Ahmad bin Hanbal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menguatkan pendapat ini seray menyebut bahwa ini adalah pendapat Umar,  Utsman, Ibnu Mas’ûd, Ibnu ‘Abbâs, Ibnuz Zubair, dan kalangan shahabat yang lain. Tidaklah diketahui bahwa ada dari kalangan shahabat yang menyelisihi mereka.
Insya Allah, yang terkuat di antara tiga pendapat di atas adalah pendapat ketiga. Selain terhitung sebagai pendapat yang tidak dikenal bahwa ada di antara kalangan shahabat yang menyelisihinya, hadits-hadits dan atsar-atsar para shahabat juga lebih menguatkannya.
Di antara hadits-hadits tersebut adalah riwayat Iyâs bin Abi Ramlah Asy-Syâmy bahwa beliau berkata,

شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ سَأَلَ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا؟ قَالَ: نَعَمْ صَلَّى الْعِيدَ أَوَّلَ النَّهَارِ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ: ” مَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ

“Saya menyaksikan Mu’âwiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam, ‘Apakah, bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, engkau menyaksikan dua Id berkumpul?’ (Zaid) menjawab, ‘Iya. Beliau melaksanakan shalat Id pada awal siang, kemudian memberi keringanan pada (shalat) Jum’at dengan berkata, ‘Siapa saja yang hendak menegakkan (shalat) Jum’at hendaknya dia menegakkan (shalat) Jum’at tersebut.’.’.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasâ`iy, Ibnu Mâjah, dan selainnya. Iyâs bin Abi Ramlah Asy-Syâmy adalah seorang rawi yang majhûl, tetapi bisa dikuatkan dengan riwayat Abu Hurairah yang akan datang. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud seraya menyebut bahwa hadits ini dishahihkan juga oleh Ibnul Madîny, Al-Hakim, dan Adz-Dzahaby]

Hadits lain adalah dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

“Telah bertemu dua Id pada hari kalian ini. Siapa saja yang berkehendak (untuk tidak menghadiri shalat Jum’at), (shalat Id-nya) telah mencukupinya dari (shalat) Jum’at. Namun, kami (tetap) akan menegakkan (shalat) Jum’at.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Mâjah, dan selainnya. Sanadnya bagus maka dishahihkan oleh Al-Albâny dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud. Namun, Ad-Dâraquthny dan Ahmad bin Hanbal menganggap bahwa yang kuat pada hadits adalah riwayat mursal]

Juga dari Abu ‘Ubaid bahwa beliau berkata, “Saya menghadiri shalat Id bersama Utsman bin Affan, sedang waktu itu adalah hari Jum’at. (Utsman) melaksanakan shalat Id sebelum khutbah, kemudian berkata,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ العَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ

‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya pada hari ini telah berkumpul dua Id untuk kalian. Oleh karena itu, siapa saja di antara penduduk ‘awâlî(pelosok kota) yang ingin menunggu (pelaksanaan shalat) Jum’at, silakan menunggu. Akan tetapi, siapa saja yang ingin kembali, telah kuizinkan untuknya.’.” [Diriwayatkan oleh Malik, Al-Bukhâry dalam Shahîh-nya, dan selainnya]

Demikianlah pendapat terkuat dan difatwakan oleh Ulama Al-Lajnah Ad-Dâ`imah seperti dalam fatwa no. 2140 yang ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz Ibnu Bâz, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyân, dan Syaikh Abdullah bin Qa’ûd, serta dalam fatwa no. 21160 pada 8 Dzulqa’dah 1420 H yang ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz Âlu Asy-Syaikh, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyân, Syaikh Bakr Abu Zaid, dan Syaikh Shalih Al-Fauzân.

Namun, kami perlu mengingatkan akan tiga hal:
Pertama, siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at, boleh melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya. Akan tetapi, kalau dia menghadiri shalat Jum’at, hal tersebut tentu lebih afdhal dan lebih selamat dari silang pendapat ulama dalam masalah ini.
Kedua, tidaklah kita  mengetahui, dari uraian para ulama, bahwa ada yang mengharamkan penegakan shalat Jum’at.
Ketiga, sebagian manusia menyangka bahwa, bila shalat Id bertepatan dengan hari Jum’at, seseorang boleh tidak mengerjakan shalat Jum’at juga tidak mengerjakan shalat Zhuhur. Padahal, tidak ada di antara kalangan ulama yang berpendapat seperti ini, kecuali, Athâ` bin Abi Rabâh. Setelah menyebutkan bahwa ‘Athâ` memiliki dua pendapat dalam masalah ini, Ibnu Abdil Barr sangat mengingkari pendapat ini dan menegaskannya sebagai pendapat yang kerusakannya sangat jelas, ditinggalkan, dan tidak dipakai.
Wallahu A’lam.

Rujukan Pokok untuk Pembahasan di Atas
Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islam 24/210-213Al-Mughny 2/358-359 karya Ibnu QudâmahAt-Tamhîd 10/268-271 karya Ibnu Abdil BarrAl-Ausath 4/289-291 karya Ibnul MundzirBidâyah Al-Mujtahid 1/496-497 karya Ibnu Rusyd (cetakan Dârus Salâm)Al-Muhallâ 5/89 karya Ibnu HazmAl-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah27/209Fatawa Al-Lajnah Ad-Dâ`imah 8/179-181

Syarat Pewajiban Zakat


Syarat Pewajiban Zakat

Setelah kita memahami akan kewajiban zakat pada harta, harus diketahui pula bahwa, dalam pewajiban zakat tersebut, terdapat lima syarat yang harus terpenuhi. Rincian lima syarat tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama: Keislaman
Yang wajib mengeluarkan zakat adalah seorang muslim sebab zakat tidak diambil juga tidak diterima dari orang kafir, baik kafir murtad maupun kafir asli. Hal ini karena zakat adalah penyuci -sebagaimana kandungan ayat ke-103 surah At-Taubah- dan tidak akan menyucikan orang kafir.
Allah Jalla Jalâluhu berfirman pula,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

“Dan tiada yang menghalangi mereka agar nafkah-nafkah mereka diterima dari mereka, kecuali karena mereka kafir terhadap Allah dan rasul-Nya, serta mereka tidak mengerjakan shalat, kecuali dengan malas, tidak pula menafkahkan (harta) mereka, kecuali dengan rasa enggan.” [At-Taubah: 54]

Namun, perlu diketahui bahwa, walaupun tidak wajib mengeluarkan zakat, orang kafir tetap dihisab pada hari kiamat. Hal ini merupakan salah satu kehinaan terhadap mereka.

Allah ‘Azza wa Jalla menghikayatkan keadaan orang-orang mujrim yang disiksa dalam api neraka,

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ. وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ. وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ

“ ‘Apa sebab yang memasukkan kalian ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, tidak pula kami memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan hal yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya.’.” [Al-Muddatstsir: 42-45]

Kedua: Al-Hurriyah ‘Kebebasan, Kemerdekaan, bukan Budak’
Zakat tidak diwajibkan terhadap seorang budak sebab seorang budak merupakan harta pemilik budak sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,

وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِى بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ

“Barangsiapa yang menjual seorang budak yang memiliki harta, harta budak itu adalah miliknya, kecuali bila si pembeli mempersyaratkan (bahwa harta itu menjadi miliknya).”
Karena seorang budak tidak memiliki harta, tentu dia tidak wajib mengeluarkan zakat.

Ketiga: Harta Telah Mencapai Nishab
Nishab adalah kadar yang ditentukan oleh syariat yang menjadi ukuran pewajiban zakat, bahwa zakat tidak diwajibkan bila harta tidak mencapai kadar tersebut. Persyaratan ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ

“Tiada (kewajiban) zakat terhadap apa-apa yang kurang dari lima wasaq (dari hasil bumi), tiada (kewajiban) zakat terhadap apa-apa yang kurang dari lima ekor unta, dan tiada (kewajiban) zakat terhadap apa-apa yang kurang dari lima uqîyah (dari perak).”

Insya Allah, akan datang rincian lebih lengkap tentang nishab setiap jenis harta yang terkena kewajiban zakat.

Keempat: Adanya Kepemilikan Harta Secara Tetap
Maksudnya adalah bahwa harta tersebut sudah dimiliki secara tetap dan sempurna, yang kepemilikan seseorang terhadap harta tersebut tidak akan gugur atau hilang.
Adapun seperti buah-buahan atau biji-bijian yang masih berada di pohonnya, tidak ada kewajiban zakat padanya, kecuali tanaman itu dipanen dan disimpan di tempat penyimpanannya, karena mungkin saja tanaman tersebut tertimpa musibah atau kerusakan sebelum dipanen.
Juga seperti orang yang menyewakan rumahnya, ongkos sewa yang dia pegang belum dianggap berada dalam kepemilikan tetapnya karena mungkin saja rumah yang disewakan itu roboh atau rusak dan ongkos sewa harus dikembalikan.

Contoh lain adalah seperti jatah hasil keuntungan yang belum dibagi di antara orang-orang yang berserikat dalam sebuah usaha. Walaupun jumlah keuntungan yang akan diterima telah diprediksi, sepanjang belum dibagi, harta tersebut belum masuk ke dalam kepemilikan tetapnya.
Pensyaratan ini berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan kewajiban zakat pada harta, sedang harta yang terkena kewajiban zakat disandarkan kepada pemiliknya.

Kelima: Harta Telah Dimiliki Selama Satu Haul
Satu haul adalah satu tahun. Penanggalan yang dijadikan sebagai ukuran adalah Hijriah. Hal ini merupakan syarat sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,

لاَ زَكَاةَ فِى مَالٍ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

“Tiada zakat pada suatu harta, kecuali setelah harta itu telah dimiliki selama satu haul.”

Contoh: Pada Muharram 1432 H, seseorang memiliki harta berupa tabungan sebanyak Rp. 100 juta. Tabungan tersebut dia miliki hingga Muharram 1433 H. Maka, orang tersebut telah dikatakan memiliki harta selama satu haul.

Pengecualian Seputar Satu Haul
Pensyaratan seputar satu haul berlaku pada seluruh jenis harta yang yang terkena kewajiban zakat. Akan tetapi, para ulama memperkecualikan beberapa jenis:

Pertama: Zakat Hasil Bumi
Hal ini karena zakat hasil bumi dikeluarkan tatkala hasil bumi tersebut dipanen atau dipetik, tanpa perlu menunggu perputaran haul, berdasarkan firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,

وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ

“Dan tunaikanlah hak (zakat)nya tatkala hasilnya dipanen (dengan menyedekahkan hasil itu kepada fakir miskin).” [Al-An’âm: 141]

Dalam ayat di atas, Allah Jalla Jalâluhu memerintah secara mutlak untuk mengeluarkan zakat tersebut ketika hasil bumi itu dipanen, tanpa ada penyebutan haul dan semisalnya.

Kedua: Hasil Pengembangbiakan Hewan Ternak yang Telah Mencapai Nishab

Apabila hewan ternak (yang telah mencapai nishab) memiliki keturunan, perhitungan haul keturunan itu diikutkan kepada perhitungan haul induknya.

Contoh: Pada Muharram 1432 H, seseorang memiliki 40 ekor kambing. Kemudian, seluruh kambingnya telah melahirkan 2 ekor, kecuali seekor kambing yang melahirkan 3 ekor. Sehingga, pada Muharram 1433 H, orang tersebut telah memiliki 121 ekor kambing (yang terdiri dari 40 ekor induk dan 81 ekor anak kambing). Oleh karena itu, orang tersebut wajib mengeluarkan zakat sejumlah 2 ekor kambing karena telah memiliki kambing sebanyak 121 ekor (sebab perhitungan haul 81 ekor anak kambing diikutkan kepada perhitungan haul 40 ekor induk kambing), bukan mengeluarkan zakat sejumlah 1 ekor kambing (karena menganggap haul 81 ekor anak kambing belum cukup).

Nanti akan dijelaskan bahwa seseorang wajib mengeluarkan zakat sejumlah 1 ekor kambing bila memiliki 40-120 ekor kambing, serta mengeluarkan zakat sebanyak 2 ekor kambing jika mempunyai 121-200 ekor kambing.

Selain itu, hasil pengembangbiakan hewan ternak juga diikutkan ke dalam perhitungan nishab. Demikian menurut pendapat yang lebih kuat.

Contoh: Pada Muharram 1432 H, seseorang memiliki 30 ekor kambing. Kemudian, hingga Syawal 1432 H, 10 ekor lahir dari kambing-kambing itu sehingga berjumlah 40 ekor. Maka, haul hewan tersebut dihitung bukan dari Muharram, melainkan dihitung dari Syawal.

Ketiga: Hasil Keuntungan dari Harta Perdagangan yang Telah Mencapai Nishab

Apabila seseorang memiliki modal perdagangan yang telah mencapai nishab, keuntungan dari perdagangan tersebut dihitung bersama haul modal asalnya.

Contoh: Pada Muharram 1432 H, seseorang memulai suatu perniagaan dengan modal sebesar Rp 50 Juta. Hingga Rajab 1432 H, dia memeroleh keuntungan sebanyak Rp 50 juta. Memasuki Syawal 1432 H, dia memeroleh lagi keuntungan sejumlah Rp 50 juta. Mak, pada Muharram 1433 H, total harta perdagangan yang harus dikeluarkan zakatnya adalah Rp 150 juta. Demikianlah karena, walaupun modal asal berjumlah Rp 50 juta saat permulaan haul, keuntungan dia sejumlah Rp 100 juta tersebut tidak diharuskan untuk dihitung dalam satu haul tersendiri, tetapi keuntungan tersebut dihitung bersama haul modal asalnya.

Dalil bahwa hasil pengembangbiakan hewan ternak dan keuntungan perdagangan (yang keduanya telah mencapai nishab) dihitung kepada haul asalnya adalah kaidah “Cabang atau pengikut dikembalikan atau diikutkan kepada asalnya”.

Kaidah tersebut disimpulkan dari sejumlah dalil. Uraiannya belum sempat dijelaskan pada kesempatan ini.

Keempat: Ar-Rikâz
Harta terpendam dari temuan peninggalan masa jahiliyah disebut dengan nama ar-rikâz. Ar-rikâz ini adalah harta yang dikeluarkan sebanyak seperlima tatkala ditemukan.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,

وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ

“… Dan pada ar-rikâz, (zakat dikeluarkan sebanyak) seperlima.”

Menunjukkan bahwa barang siapa yang menemukan ar-rikâz, dia wajib mengeluarkan seperlima bagian dari ar-rikâz itu, tanpa harus menunggu satu haul.

Akan datang, pembahasan bahwa ada silang pendapat di kalangan ulama, apakah seperlima yang dikeluarkan terhitung sebagai zakat atau terhitung sebagai fai`?

Tentunya, penyebutan bahwa ar-rikâz diperkecualikan dari perhitungan haul dibangun di atas pendapat bahwa seperlima yang dikeluarkan dari ar-rikâz adalah zakat.

Kelima: Hasil Tambang
Hasil tambang dianggap sama dengan ar-rikâz, dalam hal pengeluaran zakat secara segera, oleh kalangan ulama yang memandang bahwa ada kewajiban zakat pada hasil tambang ini. Insya Allah, akan diterangkan tentang silang pendapat ulama seputar zakat hasil tambang.

Terputusnya Haul
Setelah memahami fiqih seputar haul di atas, juga akan bisa diketahui bahwa haul suatu harta dianggap terputus pada beberapa keadaan:

Pertama, apabila nishab berkurang saat pertengahan haul.
Contoh: Seseorang memiliki 40 ekor kambing pada Muharram 1432 H. Namun, sebelum Muharram 1433 H tiba, kambingnya berkurang sebanyak 5 ekor karena meninggal. Maka, tidak ada kewajiban zakat pada kambing yang tersisa karena jumlah kambing tidak memenuhi nishab.

Kedua, apabila harta zakat dijual dengan selain jenisnya.
Contoh: Seseorang memiliki 40 ekor kambing, tetapi sebelum satu haul genap, kambing itu dijual dan pemiliknya memeroleh uang. Pada keadaan ini, tiada kewajiban zakat terhadap pemilik karena haul 40 ekor kambing telah terputus. Kecuali, kalau sang pemilik menjual kambingnya hanya untuk menghindar dari kewajiban zakat, darinya tetap dipungut 1 ekor kambing dari 40 ekor kambing sebagai kewajiban zakat.

Ketiga, apabila harta zakat diganti dengan harta jenis lain.
Contoh: seorang memiliki 40 ekor kambing, tetapi sebelum genap setahun, kambingnya ditukar dengan beberapa ekor sapi atau beberapa ekor unta. Pada keadaan ini, haul 40 ekor kambing telah terputus, dan dimulai dengan haul baru untuk sapi atau unta yang baru dia miliki yang telah mencapai nishab. Kecuali, kalau sang pemilik menjual kambingnya hanya untuk menghindar dari kewajiban zakat, darinya tetap dipungut 1 ekor kambing dari 40 ekor kambing sebagai kewajiban zakat.

Namun kalau dia mengganti harta zakatnya dengan jenis harta yang sama, haul harta tersebut tidak terputus.

Contoh: Seseorang memiliki 40 ekor kambing biasa pada Muharram 1432 H, kemudian pada Rajab 1432 H, dia mengganti kambing biasa tersebut dengan 40 ekor kambing domba. Pada keadaan ini, nishab tidak terputus, bahkan pada Muharram 1433 H, dia wajib mengeluarkan 1 ekor kambing sebagai zakat dari 40 ekor kambingnya.

Apapun harta yang diperdagangkan, haul tidaklah terputus dengan penjualan, penukaran dan penggantian, bahkan seluruh harta yang dia perdagangkan terhitung ke dalam haul selama dia masih meniatkan harta tersebut untuk diperdagangkan.

Beberapa Pembahasan Lain
Beberapa pembahasan yang perlu diterangkan, sebagai pelengkap dari pembahasan seputar syarat kewajiban zakat di atas, kami uraikan sebagai berikut.

Pertama: Harta Anak Kecil dan Harta Orang Tidak Waras
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang harta anak kecil dan harta orang tidak waras, apakah ada kewajiban zakat padanya atau tidak?

Pendapat yang lebih benar adalah bahwa anak kecil dan orang tidak waras tetap wajib mengeluarkan zakat sepanjang harta keduanya memenuhi syarat-syarat wajib zakat. Hal ini sebab zakat merupakan kewajiban yang berkaitan dengan harta, bukan hal yang berkaitan dengan kondisi pemilik harta tersebut.

Pendapat ini telah sah dari sejumlah shahabat dan tidak ada yang menyelisihi mereka. Dasar pendapat ini adalah dalil-dalil umum yang menunjukkan kewajiban zakat. Siapa saja yang memerhatikan dalil-dalil tersebut pasti akan menemukan bahwa zakat adalah berkaitan dengan harta itu sendiri. Perhatikanlah, misalnya, firman Allah ‘Azza wa Jalla,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” [At-Taubah: 103]

Dalil di atas menunjukkan pengambilan zakat dari harta, tidak merinci perihal kondisi para pemilik harta tersebut.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada Mu’âdz bin Jabal,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ

“… Terangkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shadaqah (zakat) terhadap mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka kemudian dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka.”

Perintah dalam sabda di atas berlaku mutlak, yang menandakan bahwa kedudukan antara seorang mukallaf dan yang bukan mukallaf adalah sama.

Berangkat dari kesimpulan di atas, wali (dari anak kecil atau orang tidak waras) mengeluarkan zakat dari harta yang menjadi amanah di pundak mereka.

Kedua: Zakat Orang yang Berutang
Bila seseorang mempunyai harta yang telah mencapai nishab, tetapi dia juga memiliki utang yang semisal dengan hartanya yang telah mencapai nishab tadi, atau harta tersebut tidak mencapai nishab apabila ia melunasi utangnya, apakah dia wajib mengeluarkan zakat?

Contoh: seseorang mempunyai harta sebesar Rp. 50 juta. Namun, dia memiliki utang sebanyak Rp. 50 juta pula. Setelah harta itu dimiliki selama satu haul, apakah ada kewajiban zakat padanya?

Para ulama juga berselisih pendapat dalam hal ini, tetapi pendapat yang lebih benar adalah bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakat sepanjang harta tadi masih berada di dalam kepemilikannya. Pendapat ini berdasarkan hadits-hadits umum tentang kewajiban zakat terhadap seseorang apabila harta telah mencapai nishab. Dalam hadits-hadits beliau, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam meminta para pekerjanya untuk mengambil zakat, tanpa mempertanyakan apakah pemilik harta memiliki hutang atau tidak. Wallâhu A’lam.

Ketiga: Zakat Piutang
Yakni, seseorang meminjamkan suatu harta kepada orang lain, dan harta tersebut telah mencapai syarat-syarat kewajiban zakat. Letak permasalahan adalah bahwa harta tersebut tidak berada pada si pemilik piutang, tetapi berada pada si peminjam. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang zakat piutang ini.

Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa kewajiban zakat pada piutang terbagi ke dalam dua keadaan:
bila si peminjam mampu mengembalikan pinjamannya.

Dalam keadaan ini, si pemilik piutang wajib mengeluarkan zakat dari pinjaman tersebut karena pinjaman tersebut mampu diambil oleh pemilik piutang kapan pun dia berkehendak, seakan-akan piutang itu telah berada di tangan pemilik piutang.

Jika si peminjam sulit mengembalikan pinjamannya.
Bila si peminjam sulit atau tidak mampu mengembalikan pinjamannya, si pemilik piutang tidak wajib mengeluarkan zakat dari harta tersebut.

Namun, bila suatu hari si peminjam mengembalikan pinjaman kepada pemiliknya, sedang harta tersebut telah melebihi satu haul, apakah si pemilik harus mengeluarkan zakatnya?

Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran dalam hal ini adalah bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban zakat terhadapnya karena salah satu syarat pewajiban zakat adalah harta berada dalam kepemilikan tetap dan telah dimiliki selama satu haul. Akan tetapi, bila si pemilik piutang mengeluarkan zakat dari piutang yang baru diterima tersebut sebagaimana seseorang yang mengeluarkan zakatnya setelah setahun, hal itu lebih baik dan lebih berhati-hati. Wallâhu A’lam.

Keempat: Menggugurkan Piutang dengan Niat Mengeluarkan Zakat
Bila seseorang mempunyai piutang pada orang lain, sementara dia sendiri wajib mengeluarkan zakat. Apakah dia boleh menggugurkan piutang tersebut (menganggap bahwa piutang itu telah lunas) dengan meniatkan piutang itu sebagai zakat yang dia keluarkan?

Maksud penyaluran zakat adalah memberi santunan dan mengeluarkan harta untuk siapa saja yang berhak mendapatkannya. Hal ini berbeda dengan pengguguran piutang yang bersifat pembebasan, bukan pemberian dan penyaluran. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menggugurkan piutangnya dengan meniatkan piutangnya sebagai zakat.

Kelima: Keberadaan Harta Bukanlah Syarat pada Kewajiban Zakat
Makna ketentuan di atas adalah bila terjadi suatu penyebab, misalnya seseorang memiliki sejumlah harta yang telah mencapai nishab, tetapi tiba-tiba harta tersebut dicuri, atau misalnya seseorang memiliki barang yang telah terkena kewajiban zakat pada suatu toko, tetapi tiba-tiba toko itu terbakar. Dalam hal ini, kewajiban zakat tidaklah gugur terhadap pemiliknya selama penyebab kerusakan atau kehilangan barang tersebut berasal dari keteledoran atau kelalaiannya. Namun, kalau kerusakan atau kehilangan harta terjadi secara tidak sengaja, diluar dari kemampuan si pemilik, pemilik tersebut tidak wajib mengeluarkan zakat.

Hal ini karena zakat adalah kewajiban yang melekat pada tanggung jawab pemilik setelah harta tersebut terpenuhi hukum wajib zakat. Ibarat suatu amanah yang, kalau ditelantarkan, kita wajib menggantinya. Wallâhu A’lam.

Keenam: Zakat Adalah Utang yang Melekat pada Harta Warisan
Bila meninggal dalam keadaan belum menunaikan kewajiban zakatnya, seseorang tetap wajib mengeluarkan zakat (melalui ahli warisnya) dari harta warisannya, walaupun dia tidak berwasiat. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَاقْضُوا الَّذِى لَهُ ، فَإِنَّ اللَّهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

“Tunaikanlah segala hal yang merupakan hak Allah karena (hak) Allah lebih berhak untuk dipenuhi.”

Ketujuh: Jenis Harta yang Dikeluarkan Zakatnya
Jenis-jenis harta yang dikeluarkan zakatnya adalah:
Hewan ternak, Hasil bumi, buah-buahan, serta biji-bijian dan yang semakna dengannya, berupa makanan yang bisa ditakar/ditimbang dan bisa disimpan.
Emas dan perak, serta apa saja yang semisal dengannya, seperti mata uang dan obligasi.
Barang-barang yang diperdagangkan.

Ada beberapa pembahasan yang berkaitan dengan ar-rikâz, hasil tambang, bebatuan berharga, perhiasan, dan madu, yang insya Allah akan dijelaskan pada tempatnya.

Kedelapan: Pengecualian terhadap Jenis di atas
Tidak ada kewajiban zakat pada seluruh jenis yang tidak tergolong ke dalam harta yang terkena kewajiban zakat dan harta perdagangan, yakni bangunan tempat tinggal, mobil pribadi, pakaian, dan semisalnya.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ صَدَقَةٌ

“Tiada shadaqah (baca: zakat) atas seorang muslim terhadap (kepemilikan) budak dan kudanya.”

_Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi hafizhahullah_

TENTANG ZAKAT FITRI


Untuk zakat fitri, ada beberapa pembahasan yang perlu dijelaskan,

Pertama, definisi zakat fitri

Zakat fitri terdiri dari dua kata; kata zakat dan kata fitri.

Telah dijelaskan tentang definisi kata zakat apa awal pembahasan.

Adapun kata fitri, artinya adalah berbuka. Penyandaran kata fitri kepada kata zakat adalah bentuk penyandaran sesuatu kepada sebabnya, maksudnya bahwa zakat fitri itu adalah zakat yang diwajibkan oleh sebab dia berbuka.

Untuk zakat fitri yang dikeluarkan, para ahli fiqih mengistilahkannya dengan nama Fitrah (tanpa kata zakat di depannya). Makna fitrah itu asalnya adalah tabiat yang manusia berada di atasnya sebagaimana firman Allah Ta’âlâ,

فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

“(Tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” [Ar-Rûm: 30]

Namun harus diketahui bahwa kata fitrah dalam pembahasan zakat adalah istilah khusus di kalangan ahli fiqih untuk (barang) zakat fitri yang dikeluarkan.

Imam An-Nawawy rahimahullâh berkata, “Dikatakan zakat fitri dan shadaqah fitri. Untuk (barang zakat) yang dikeluarkan disebut dengan nama فطرة (fitrah): huruf fa’-nya dikasrah, dan dia adalah lafazh yang baru muncul, bukan kata arab dan bukan (pula) diarabkan, bahkan dia adalah istilah para ahli fiqih. Seakan-akan dia dari makna fitrah yang merupakan keadaan penciptaan (badan), yaitu zakat untuk badan.”

Adapun pengertian zakat fitri dalam istilah ahli fiqih, zakat fitri adalah zakat dengan kadar tertentu yang diwajibkan karena berbuka dan telah menyelesaikan puasa Ramadhan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Kedua, dalil-dalil tentang kewajiban zakat fitri.

Di antara dalil yang menunjukkan kewajiban zakat fitri adalah keumuman firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى

“Sesungguhnya, beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia menyebut nama Rabb-nya, lalu mengerjakan shalat.” [Al-A’lâ: 14-15]

Disebutkan dari Umar bin Abdul Aziz radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau memerintah manusia untuk mengeluarkan zakat fitri, kemudian membaca ayat di atas.

Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّ اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ أَوْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ.

“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengwajibkan zakat fitri dari Ramadhan terhadap setiap jiwa dari kaum muslimin, orang merdeka maupun budak, laki-laki mapun perempuan, anak kecil maupun orang dewasa, satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari jelai.”

Ibnul Mundzir rahimahullâh berkata, “Sepakat para ulama bahwa shadaqah fitri adalah kewajiban. (Juga) para ulama bersepakat bahwa zakat fitri adalah wajib atas seorang, apabila dia mampu mengeluarkannya untuk dirinya dan anak-anak kecilnya yang tidak mempunyai harta. Para ulama bersepakat bahwa seorang wajib untuk mengeluarkan zakat bagi budak miliknya.”

Ketiga, hikmah dari pewajiban zakat fitri.

Pengsyariatan zakat fitri yang agung ini, tentu mempunyai berbagai hikmah dan manfaat. Dalam hadits yang masyhur, Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

“Rasulullah mewajibkan zakat fitri, sebagai pengsuci bagi orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan ucapan keji, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat, itu adalah zakat yang diterima, (tetapi) barang siapa yang mengeluarkannya setelah shalat, itu hanyalah sedekah di antara jenis-jenis sedekah.”

Hadits di atas dan beberapa hadits yang telah berlalu menjelaskan beberapa hikmah dari syariat zakat fitri. Hikmah-hikmah tersebut adalah:

Menyucikan orang-orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia atau ucapan yang tidak baik saat menjalankan puasa. Dengan demikian kekurangan puasa pada seorang hamba akan tertutup.
Pemberian makan untuk orang-orang miskin sehingga mereka pada hari ied yang berbahagia memiliki kecukupan.
Memberi ketenangan kepada seluruh kaum muslimin, yang kaya maupun yang miskin, sehingga mereka semua pada hari ied yang agung tersebut merasakan nikmatnya ibadah dan besarnya anugrah Allah kepada mereka.
Pahala dan kebaikan yang dituai oleh orang-orang yang telah menunaikan zakat fitrinya.
Sebagai zakat untuk badan yang Allah telah memuliakannya dengan kehidupan pada tahun yang telah berlalu. Hal ini tampak dari syariat zakat yang mencakup seluruh kaum muslimin tanpa membedakan antara yang kecil dan dewasa, laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin.
Kesyukuran kepada Allah akan besarnya nikmat terhadap orang-orang berpuasa yang telah menyelesaikan puasa Ramadhannya.
Keempat, syarat kewajiban zakat fitri.

Kewajiban zakat fitri terhadap seorang hamba disyaratkan padanya beberapa syarat,

Pertama, keislaman.

Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّ اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ أَوْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ.

“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri dari Ramadhan terhadap setiap jiwa dari kaum muslimin, orang merdeka maupun budak, laki-laki mapun perempuan, anak kecil maupun orang dewasa, satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari jelai.”

Ibnu Qudâmah rahimahullâh berkata, “Secara global, zakat fitri adalah wajib atas setiap muslim, kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, menurut kebanyakan ulama. (Juga) wajib atas anak yatim -walinya mengeluarkan untuknya dari hartanya- dan atas budak.”

Kedua, kecukupan.

Yaitu pada hari dan malam id, seorang memiliki kelebihan satu sha’ dari makanan pokok diri dan keluarganya, dan melebihi kebutuhan dasarnya. Hal ini dipahami dari hadits-hadits yang telah berlalu.

Ketiga, telah memasuki waktu kewajiban.

Kewajiban mengeluarkan zakat fitri adalah setelah matahari terbenam pada akhir Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّ اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ …

“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri pada Ramadhan ….”

Pembahasan Kelima, waktu mengeluarkan zakat fitri.

Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, beliau berkata,

“Rasulullah memerintah agar zakat tersebut ditunaikan sebelum manusia keluar untukk shalat (ied).”

Dalam sebuah riwayat, Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ menjelaskan,

“Mereka (para shahabat) memberikan (zakat fitri mereka) sehari atau dua hari sebelum ‘iedul fitri.”

Telah berlalu hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa beliau berkata,

مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

“Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat, itu adalah zakat yang diterima, (tetapi) barang siapa yang mengeluarkannya setelah shalat, itu hanyalah sedekah di antara jenis-jenis sedekah.”

Dari hadits-hadits di atas, bisa disimpulkan bahwa waktu pengeluaran zakat fitri terbagi tiga:

Pertama, waktu pembolehan.

Zakat fitri boleh dikeluarkan sehari atau dua hari sebelum ‘ied, atau dengan bahasa lain, boleh dikeluarkan pada 28 atau 29 Ramadhan.

Kedua, waktu kewajiban.

Apabila matahari telah terbenam pada akhir Ramadhan, pengeluaran zakat fitri telah menjadi kewajiban bagi mereka yang telah mendapati Ramadhan. Karena itu, bila seorang masuk islam sebelum matahari terbenam, wajib terhadapnya untuk mengeluarkan zakat fitri. Demikian pula anak kecil yang baru baligh dan budak yang baru dibebaskan. Adapun kalau seluruh hal tersebut terjadi setelah matahari terbenam, tidak ada kewajiban zakat fitri terhadapnya.

Bila seorang meninggal setelah matahari terbenam, tentu wajib atas keluarganya untuk mengeluarkan zakat fitrinya, karena dia telah mendapati waktu kewajiban dan juga telah menjalani bulan Ramadhan. Adapun bila seorang meninggal sebelum matahari terbenam, tidak ada kewajiban zakat fitri terhadapnya.

Ketiga, waktu sunnahnya mengeluarkan zakat.

Hal yang disunnahkan untuk seorang muslim agar dia mengeluarkan zakat fitrinya sebelum shalat ‘ied.

Demikian waktu-waktu yang disyariatkan untuk mengeluarkan zakat fitri.

Siapa yang mengeluarkan zakat fitrinya sebelum 28 Ramadhan, tentu zakat tersebut tidak dianggap sebagai zakat fitri berdasarkan hadits-hadits yang telah berlalu. Juga siapa yang mengeluarkan zakat fitrinya setelah shalat ‘ied, zakatnya tidaklah diterima, karena pelaksanaan bukanlah pada waktunya, kecuali bagi mereka yang memiliki udzur –karena perjalanan atau lupa- insya Allah tidak mengapa mereka mengeluarkannya setelah shalat ‘ied.

Keenam, kadar dan jenis zakat fitri yang dikeluarkan.

Dari hadits-hadits yang telah berlalu, bisa dipahami bahwa kadar zakat fitri yang dikelaurkan adalah satu sha’. Satu sha’ adalah sebesar empat mud. Satu mud adalah sepenuh dua telapak tangan laki-laki dalam ukuran kebanyakan orang.

Ketujuh, orang-orang yang berhak menerima zakat fitri

Yang berhak menerima zakat fitri hanyalah orang-orang fakir dan miskin saja. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ, beliau berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّ اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, sebagai pengsuci bagi orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan ucapan keji, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin.”

Asy-Syaukâny rahimahullâh berkata, “Pada (hadits di atas) terdapat dalil bahwa zakat fitri diberikan kepada orang-orang miskin, tidak kepada selainnya dari tempat-tempat penyaluran zakat.”

Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “… Dan dari petunjuk (Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam) pengkhususan zakat fitri untuk orang-orang miskin. Beliau tidaklah membaginya untuk delapan golongan secara satu per satu, juga beliau tidak memerintah dengan hal tersebut, dan tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari shahabat dan tidak (pula) dari orang-orang setelahnya. Bahkan, salah satu dari dua pendapat di sisi kami, tidak mengeluarkan (zakat fitri) kecuali hanya kepada orang-orang miskin secara khusus. Pendapat ini lebih kuat dari pendapat yang mengwajibkan pembagian (zakat fitri) untuk delapan golongan.”

Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Bâz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan selainnya.

Kedelapan, hukum membayar zakat fitri dengan nilai harganya.

Dalam pengeluaran zakat fitri, yang dinukil dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya adalah mengeluarkannya dengan makanan pokok, tidak pernah dinukil adalah yang mengeluarkannya dalam bentuk uang atau semisalnya dari harga makanan.

Syaikh Ibnu Bâz rahimahullâh berkata, “Tidak boleh mengeluarkan dengan nilai harga menurut kebanyakan ulama, pendapat ini yang lebih benar dalilnya. Bahkan, yang wajib adalah mengeluarkan (zakat fitri) dari makanan pokok, sebagaimana yang Nabi dan para shahabatnya lakukan.”

Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah disebutkan, “Tidak boleh mengeluarkan zakat fitri dengan bentuk uang, karena dalil-dalil syariat menunjukkan kewajiban mengeluarkannya dalam bentuk makanan, dan tidak diperbolehkan untuk berpaling dari dalil-dalil syariat lantaran ucapan siapa pun dari manusia.”

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

“Siapa yang mengada-adakan dalam perkara kami apa yang bukan darinya, hal tersebut adalah tertolak.”

Kesembilan, cakupan kewajiban zakat fitri terhadap seorang hamba.

Kewajiban seorang hamba dalam mengeluarkan zakat fitri mencakup dirinya dan keluarganya.

Ibnul Mundzir rahimahullâh berkata, “Para ulama sepakat bahwa zakat fitri adalah wajib atas seorang yang memungkinnya untuk mengeluarkan zakat itu bagi dirinya dan anak-anaknya yang masih kecil yang tidak memiliki harta. (Juga) mereka bersepakat bahwa seorang wajib mengeluarkan zakat fitri untuk budak yang dia miliki.”

Demikian beberapa poin penjelasan seputar zakat fitri. Tentunya, terdapat pula pembahasan lain yang belum sempat disebutkan di sini.

_Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi hafizhahullah_

AYAT AL-QURAN YANG PALING AGUNG


AYAT KURSI ADALAH AYAT AL-QURAN YANG PALING AGUNG

Dari Ubay bin Ka'ab radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:

‎قالَ لي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ ؟ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ ؟ قَالَ قُلْتُ : { اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ } قَالَ فَضَرَبَ فِي صَدْرِي وَقَالَ : وَاللَّهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam pernah bertanya kepadaku:

Wahai Abul Mundzir, ayat mana dari kitabullah yang bersamamu merupakan (ayat) yang paling agung?

Aku menjawab : Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.

Beliau kembali bertanya: Wahai Abul Mundzir, ayat mana dari kitabullah yang bersamamu merupakan (ayat) yang paling agung?

Aku menjawab: ALLAHU LAA ILAAHA ILLAA HUWAL HAYYUL QAYYUUM (maksudnya ayat kursi).

Maka beliau pun menepuk dadaku, dan beliau bersabda:

Selamat atas ilmumu, wahai Abul Mundzir."

(HR. Muslim)

Ustadz Abdul Mu'thi Al Maidani Hafizhahullah
(Forward from Ahlussunnah Mamuju)

Kamis, 07 Juni 2018

LEBIH GIAT BERIBADAH DI 10 TERAKHIR RAMADHAN


LEBIH GIAT BERIBADAH DI 10 TERAKHIR RAMADHAN

Sudah menjadi pemandangan yang umum disaksikan, setiap kali ramadhan tersisa sepuluh hari, maka tidak sedikit dari kaum muslimin yang lalai dan menyia-nyiakannya.

Padahal jika kita kembali kepada tuntunan Rasulullah sallalahu alaihi wasallam, seharusnya 10 akhir ramadhan kita lebih bersungguh-sungguh dan lebih giat lagi untuk melakukan aktifitas ibadah.

Aisyah radiyallahu anha menuturkan :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ

"Pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya."[1].

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ

"Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memasuki sepuluh terakhir (Ramadlan), maka beliau menghidupkan malam-malamnya dan membangunkan keluarganya serta mengencangkan ikatan kain sarungnya."[2].

Makna "membangunkan keluarganya" (أيقظ أهله) : membangunkann mereka untuk mengerjakan sholat, dan bersungguh-sungguh dalam beribadah lebih dari biasanya.

Makna "mengencangkan kain sarung"(شد المئزر) : sebahagian ulama memaknainya dengan kesungguhan dalam beribadah lebih dari biasanya, ulama yang lainnya menyatakan bahwa maksudnya adalah fokus dan meningkatkan insensitas ibadah, dan adapula yang mengatakan, bahwa itu maksudnya menjauhi istri (tidak berhubungan suami-istri) agar dapat menyibukkan diri dengan berbagai ibadah.

Makna "menghidupkan malam-malamnya" (أحيا الليل) : menghabiskan sebahagian besar malamnya untuk mengerjakan sholat dan amalan lainnya, seperti berdzikir, berdoa, beristighfar, dan lain-lain.[3].

Semoga Allah Ta'ala senantiasa menganugerahkan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga kita dapat memaksimalkan ibadah di sepuluh akhir ramadhan.

إنه ولي ذلك والقادر عليه وهو جواد كريم

Allohu a'lam

___________

Referensi

[1] HR. Muslim no 2009

[2] HR. Bukhari no 1884, Muslim no 2008

[3] Lihat Al-Minhaj Fii Syarhi Shohih Muslim, dan Fatwa Abdullah bin Sholfiq Adz-Dzufeiri di laman : http://miraath.net/~miraath/articles.php?cat=11&id=412

Ustadz Hilal Abu Naufal Al Makassary Hafizhahullah

(Forwarded from group At-Tashfiyah wat Tarbiyah)

Tambahan Penjelasan Mengenai masalah menempelkan telapak kaki & pundak dalam shaf


TAMBAHAN PENJELASAN MENGENAI MASALAH MENEMPELKAN TELAPAK KAKI DAN PUNDAK DALAM SHAF & MELURUSKAN BEBERAPA KESALAHPAHAMAN SANG USTADZ TERHADAP UCAPAN ULAMA

(Tanggapan Atsari Atas Tulisan "Mengurai Salah Paham Tentang Merapatkan & Meluruskan Shaf" bag.2)

بسم الله الرحمن الرحيم.

Telah berlalu tanggapan penulis atas tulisan "Mengurai Salah Paham Tentang Merapatkan & Meluruskan Shaf" yang inti tanggapan tersebut bahwa menempelkan kaki dan pundak ketika dalam shaf bukanlah sesuatu yang makruh, justru sesuatu yang sunnah, atau minimal kita katakan mubah (boleh). Akan tetapi, karena penulis melihat ada sebagian saudara yang masih kurang paham atau ada keganjalan tentang sebagian masalah maka penulis menulis tulisan ini sebagai tambahan penjelasan sekaligus tanggapan beberapa perkara yang harus diluruskan. Wallahul-Musta'an.

✅Masalah pertama:

Beberapa Ucapan Para Ulama Yang menafsirkan Makna Ilzaq Secara Hakikatnya

➡Imam  Al-Kisai rahimahullah (w.189 H) yang dinukil oleh Ibnul-Mundzir dan merupakan ketetapannya juga. Sebagaimana penulis telah sebutkan dalam tulisan sebelumnya.

➡Berkata Ibnu Batthal rahimahullah (w.449 H) setelah beliau membawakan atsar Anas dan Nu'man ibn Basyir radhiyallahu anhuma:

ﻫﺬﻩ اﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺗﻔﺴﺮ ﻗﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ: (ﺗﺮاﺻﻮا ﻓﻰ اﻟﺼﻒ) ، ﻭﻫﺬﻩ ﻫﻴﺌﺔ اﻟﺘﺮاﺹ

Hadits-hadits ini menafsirkan sabda beliau shallallahu alaihi wasallam: "saling merapatlah dalam shaf", dan ini adalah bentuk saling merapatkan.

(Syarh Shahih Al-Bukhari:2/347)

➡Berkata Al-Imam Ar-Rafi'i Asy-Syafii rahimahullah (w.623 H)

ﻭاﻟﺬﻱ ﻳﺘﺼﻮﺭ ﻓﻴﻪ اﻟﺘﺰاﻕ اﻟﻘﺎﺋﻤﻴﻦ ﻓﻲ اﻟﺼﻒ

"Yang tergambarkan dalam hadits ini adalah menempelnya orang-orang yang berdiri dalam shaf."

(Asy-Syarh Al-Kabir:1/115)

➡Berkata Al-Allamah Ibnul-Malaqqin Asy-Syafii rahimahullah (w.804 H):

ﻭﻫﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺒﻴﻦ ﻫﻴﺌﺔ اﻟﺘﺮاﺹ اﻟﻤﺄﻣﻮﺭ ﺑﻪ

Hadits ini (hadits Anas) menjelaskan cara merapatkan (shaf) yang diperintahkan.

(At-Tauhdhih:6/607)

➡Berkata Al-Allamah Al-Kirmani (w.786 H)

اﻹﻟﺰاﻕ ﻫﻮ اﻹﻟﺼﺎﻕ

"Al-Ilzaq adalah menempelkan."

(Al-Kawakib Ad-Darari:5/97)

➡Berkata Al-Allamah Al-Aini Al-Hanafi rahimahullah (w.855 H)

"Ucapannya yulziq berasal dari kata Ilzaq yaitu menempelkan. Dan ucapannya "mata kakinya dengan mata kaki temannya" maksudnya menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya yang di sampingnya."

(Umdatul-Qari:5/259)

✅Masalah Kedua:

Beberapa Ucapan Ulama Yang Secara Jelas Menyatakan Sunnahnya Menempelkan Kaki dan Pundak

➡Berkata Syaikhul-Islam ibnu Taimiyyah Al-Hanbali rahimahullah:

ﻭاﻟﻤﺴﻨﻮﻥ ﻟﻠﺼﻔﻮﻑ ﺧﻤﺴﺔ ﺃﺷﻴﺎء:..

ﻭاﻟﺜﺎﻧﻲ: اﻟﺘﺮاﺹ ﻓﻴﻪ ﻭﺳﺪ اﻟﺨﻠﻞ ﻭاﻟﻔﺮﺝ, ﺣﺘﻰ ﻳﻠﺼﻖ اﻟﺮﺟﻞ ﻣﻨﻜﺒﻪ ﺑﻤﻨﻜﺐ اﻟﺮﺟﻞ, ﻭﻛﻌﺒﻪ ﺑﻜﻌﺒﻪ.

Yang disunnahkan dalam shaf ada 5 perkara,...

Sunnah yang kedua, merapatkan shaf dan menutup celah, sehingga seorang menempelkan pundaknya dengan pundak lainnya, dan mata kakinya dengan mata kakinya.

(Syarhul-Umdah, Sifatush-Shalãh:42)

➡Berkata Ibnu Qasim Al-Hanbali rahimahullah (w.1392 H):

ﻭﻻ ﻧﺰاﻉ ﺃﻥ ﺗﺴﻮﻳﺔ اﻟﺼﻒ ﺳﻨﺔ، ﻭاﻟﺘﺮاﺹ ﺇﻟﺰاﻕ اﻟﻜﻌﺎﺏ ﺳﻨﺔ ﻣﺆﻛﺪﺓ، ﻭﺷﺮﻳﻌﺔ ﻣﺴﺘﻘﺮﺓ.

"Tidak ada perselisihan bahwa meluruskan shaf adalah sunnah, dan merapatkannya yaitu menempelkan mata kaki adalah sunnah muakkadah dan syariat yang tetap."

(Hasyiah Ar-Raudh Al-Murba':2/334)

Dan semisalnya juga oleh syaikh Al-Bassam dalam (Taudhih Al-Ahkam:2/495).

➡Berkata Asy-Syaikh Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri rahimahullah (w.1414 H):

ﻗﺎﻝ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻓﻲ ﺇﺑﻜﺎﺭ اﻟﻤﻨﻦ ﺑﻌﺪ ﺫﻛﺮ ﻗﻮﻟﻲ اﻟﻨﻌﻤﺎﻥ ﻭﺃﻧﺲ: ﻓﻈﻬﺮ ﺃﻥ ﺇﻟﺰاﻕ اﻟﻤﻨﻜﺐ ﺑﺎﻟﻤﻨﻜﺐ ﻭاﻟﻘﺪﻡ ﺑﺎﻟﻘﺪﻡ ﻓﻲ اﻟﺼﻒ ﺳﻨﺔ،

Berkata guru kami dalam Ibkãrul-Minan setelah menyebutkan ucapan An-Nu'man dan Anas: maka nampak bahwa menempelkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki dalam shaf adalah sunnah.

(Al-Mir'ãh:4/5)

✅Masalah Ketiga:

Penjelasan Penafsiran Al-Hafidz Ibnu Hajr rahimahullah:

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah:

اﻟﻤﺮاﺩ ﺑﺬﻟﻚ اﻟﻤﺒﺎﻟﻐﺔ ﻓﻲ ﺗﻌﺪﻳﻞ اﻟﺼﻒ ﻭﺳﺪ ﺧﻠﻠﻪ

“Yang dimaksud adalah: mubalaghah (bersungguh-sungguh/berlebih-lebihan) dalam merapikan shaf dan menutupi celahnya.” (Fathul-Bari:2/211)

Hal yang sama dikatakan oleh para ulama pensyarah hadits seperti: An-Nawawi, Al-Qisthillani, Al-Aini, Zakariya Al-Anshari, dan selain mereka rahimahumullah.

Saya katakan:

Penafsiran mereka ini tidaklah menafikan bolehnya atau sunnahnya menempelkan pundak dan mata kaki, dari beberapa sisi:

➡Pertama: Ibnu Hajar sendiri telah menetapkan bahwa perbuatan tersebut ada di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau menjadikan dalil tentang disyariatkan meluruskan shaf dan meratakannya.

Beliau berkata:

Pernyataan yang jelas ini (bahwa ucapan tersebut adalah ucapan Anas) memberikan faedah bahwa perbuatan tersebut (yaitu menempelkan pundak dengan pundak, mata kaki dengan mata kaki) ada di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dengan ini, sempurnalah pendalilan dengannya tentang penjelasan maksud meluruskan shaf dan meratakannya.

(Fathul-Bari:2/211)

Oleh karena itu, Al-Mubarakfuri menukil ucapan gurunya:

ﻭﻫﻮ اﻟﻤﺮاﺩ ﺑﺈﻗﺎﻣﺔ اﻟﺼﻒ ﻭﺗﺴﻮﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗﺎﻝ اﻟﺤﺎﻓﻆ

Dan ini (yaitu menempelkan) adalah yang dimaksud meluruskan dan meratakan shaf sebagaimana yang dikatakan Al-Hafidz (ibnu Hajr).

(Al-Mir'ãh:4/5)

➡Kedua: Sebagian dari mereka yang menafsirkan Ilzaq dengan Mubalaghah yaitu bersungguh-sungguh/berlebih-lebihan dalam merapatkan shaf, juga telah menafsirkan makna Ilzaq secara hakiki sebagaimana yang dilakukan Al-Aini rahimahullah.

Beliau berkata ketika menjelaskan bab yang dibuat Al-Bukhari:

ﻭﺃﺷﺎﺭ ﺑﻬﺬا ﺇﻟﻰ اﻟﻤﺒﺎﻟﻐﺔ ﻓﻲ ﺗﻌﺪﻳﻞ اﻟﺼﻔﻮﻑ ﻭﺳﺪ اﻟﺨﻠﻞ ﻓﻴﻪ،

Beliau mengisyaratkan dengan ini kepada Mubalaghah dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya.

Lalu ketika beliau menjelaskan hadits An-Nu'man:

"Ucapannya yulziq berasal dari kata Ilzaq yaitu menempelkan. Dan ucapannya "mata kakinya dengan mata kaki temannya" maksudnya menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya yang di sampingnya."

(Umdatul-Qari:5/259)

Sehingga dengan ini, sebenarnya tidak ada pertentangan antara memaknai Ilzaq dengan mubalaghah dengan makna hakiki. Karena bisa kita katakan: diantara bentuk mubalaghah dalam melurusakan shaf adalah dengan menempelkan kaki dan pundak.

➡ketiga: sebagian dari mereka secara jelas mengatakan bahwa ilzaq disini adalah bentuk Mubalaghah, dan dalam waktu yang sama berpendapat sunnahnya menempelkan.

Berkata Syaikh Al-Bassam rahimahullah:

ﻭاﻟﺘﺮاﺹ ﻭﺇﻟﺰاﻕ اﻟﻜﻌﻮﺏ ﺳﻨﺔ ﻣﺆﻛﺪﺓ

"Merapatkan shaf dan menempelkan mata kaki adalah sunnah muakkadah dan syariat."

Dan ketika menafsirkan makna Ilzaq beliau berkata:

ﻭﻛﻌﺒﻪ ﺑﻜﻌﺒﻪ" اﻟﻤﺮاﺩ ﺑﻪ اﻟﻤﺒﺎﻟﻐﺔ ﻓﻲ ﺗﺴﻮﻳﺔ اﻟﺼﻔﻮﻑ؛ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ اﻟﺤﺎﻓﻆ اﺑﻦ ﺣﺠﺮ

"Mata kakinya dengan mata kakinya" yang dimaksud adalah mubalaghah dalam meluruskan shaf, sebagaimana yang dikatakan Al-Hafidz Ibnu Hajr.

(Taudhih Al-Ahkam:2/495).

Kesimpulan:

Menafsirkan Ilzaq dengan makna mubalaghah tidak menafikan bolehnya atau sunnahnya menempelkan mata kaki dan pundak.

✅Masalah Keempat:

Jawaban Atas Penisbatan Syaikh Al-Kasmiri Al-Hanafi rahimahullah Kepada Imam Yang Empat

➡Saya katakan:

Telah berlalu ucapan Syaikh Al-Mubarakfuri rahimahullah dalam tulisan sebelumnya. Akan tetapi, penulis bawakan faedah tambahan yang sangat berharga bahwa para ulama yang tergabung dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah menetapkan bahwa menempelkan mata kaki dan pundak adalah PENDAPAT MAYORITAS ULAMA DAN HUKUMNYA ADALAH SUNNAH.

mereka berkata:

"Mayoritas ulama berpendapat disunnahkannya meluruskan shaf dalam shalat jamaah yaitu dengan tidak adanya sebagian orang shalat agak maju dari yang lainnya, dan orang-orang yang berdiri seimbang dalam shaf dengan satu garis lurus dan rapat, yaitu SALING MENEMPELKAN PUNDAK DENGAN PUNDAK, TELAPAK KAKI DENGAN TELAPAK KAKI, MATA KAKI DENGAN MATA KAKI, SEHINGGA TIDAK ADA CELAH DAN RONGGA DI DALAM SHAF."

(Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah:27/24-25)

Saya katakan:

Mereka yang tergabung dalam Mausuah Fiqhiyyah Quwaitiyyah dikenal tidaklah membuat kesimpulan kecuali mereka telah menelaah kitab-kitab dari berbagai madzhab. Sehingga apa yang mereka nisbahkan adalah lebih kuat dan menenangkan hati.

✅Masalah Kelima:

Jawaban Atas Pendapat Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah

Saya katakan:

Cukup bagi penulis untuk membawakan ucapan syaikh Al-Albani rahimahullah sebagai tanggapan,

Beliau berkata:

"Sebagian penulis di zaman ini mengingkari Ilzāq ini, dan menganggapnya adalah cara yang baru, dan sikap berlebihan dalam menerapkan sunnah. Dan menganggap bahwa yang dmaksud dengan ilzāq adalah anjuran untuk menutupi celah bukan ilzāq hakiki. Ini adalah bentuk ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum amaliyah yang sangat menyerupai bentuk ta’thil terhadap sifat-sifat Allah. Bahkan ini lebih jelek, karena seorang perawi menceritakan apa yang dia saksikan dengan matanya yaitu ilzāq, sekalipun demikian dia katakan: yang dimaksud bukanlah ilzāq hakiki. Wallahul-musta’ān.! (Ash-Shahihah:6/77)

Akan tetapi, penulis mendapatkan suatu celah yang bisa membawa makna baik dari pendapat Syaikh Bakr sehingga tidak bertentangan dengan para ulama yang berpendapat sunnah. Menyatukan pendapat para ulama sebisa mungkin adalah lebih baik dari pada mempertentangkannya.

Beliau berkata di awal pembahasan yang beliau bahas:

Adapun seorang mengikuti telapak kaki kanannya -dalam keadaan dia di shaf sebelah kanan- kepada orang yang disebelah kanannya, dia geser telapak kakinya sehingga sempurna menempel, maka ini adalah kekeliruan yang jelas, memaksakan diri yang nyata, paham yang baru, di dalamnya terdapat sikap berlebih-lebihan dalam menerapkan sunnah, membuat sempit dan mengganggu, menyibukkan dengan apa yang tidak disyariatkan, dan mempelebar celah antara orang dalam shaf.

(lã Jadidah Fi Ahkamish-Shalãh)

Coba perhatikan dan baca baik-baik konteks masalah yang beliau permasalahkan sehingga beliau menulis satu pembahasan untuk menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak disyariatkan. Satu fokus masalah yaitu: beliau sedang berbicara tentang orang yang menggeser kakinya ke sebelah kanannya atau ke kekirinya agar kakinya nempel tapi justru membuat shaf terbuka lebar dan bercelah. Perhatikan ucapannya "mempelebar celah antara orang dalam shaf", telah dimaklumi bahwa orang yang menempelkan kaki dan bahunya sewajarnya tidak mungkin ada celah. Dan ini yang kita saksikan Alhamdulillah di tengah-tengah mereka yang mengamalkan sunnah tersebut.

Wallahu A'lam.

✅Masalah Keenam:

Melurusakan Beberapa Kesalahpahaman Sang Ustadz Terhadap Ucapan Ulama.

➡Pertama: Ucapan Anas radhiyallahu anhu

Telah berlalu dalam tulisan sebelumnya tentang kesalahpamahaman beliau terhadap ucapan Anas yang beliau pahami sebagai celaan terhadap perbuatan seorang sahabat yang menempelkan kaki dan pundaknya.

Sebagai tambahan faedah:

Berkata Al-Hafidz Ibnul-Qatthan rahimahullah (w.628 H)

ﻭﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﻗﺎﻝ: «ﻛﺎﻥ ﺃﺣﺪﻧﺎ ﻳﻠﺰﻕ ﻣﻨﻜﺒﻪ ﺑﻤﻨﻜﺐ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻭﻗﺪﻣﻪ ﺑﻘﺪﻣﻪ»، ﻭﻫﺬا ﺇﺟﻤﺎﻉ.

Dari Anas beliau berkata:

"Salah seorang dari kami menempelkan pundaknya dengan pundak temannya, dan telapak kakinya dengan telapak kakinya."

Ini adalah Ijma.

(Al-Iqnã':1/50)

Maksud beliau adalah kesepakatan Sahabat tentang disyariatkannya meluruskan dan merapatkan shaf. 

Lihat bagaimana Ibnul-Qatthan menjadikan perbuatan satu orang yang dihikayatkan oleh Anas sebagai ijma para sahabat. Kalau seandainya perbuatan tersebut makruh maka tidak bisa dijadikan dalil atas disyariatkan meluruskan dan merapatkan shaf. Pahami ini baik-baik maka engkau akan dapatkan faedah yang berharga.

➡Kedua: Salah paham terhadap ucapan Syaikh Utsaimin rahimahullah

Beliau waffaqanallahu wa iyyah berkata:

Seorang alim salafy, asy-syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- juga menjelaskan sebagaimana yang dipahami oleh para imam yang telah berlalu penyebutannya. Bahkan beliau menambahkan, bahwa penempelan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak itu hanya sarana (alat ukur) untuk menentukan kelurusan dan kerapatan shaf saja. Begitu sudah lurus, tidak ditempelkan lagi.

Kemudian shalat baru dimulai.

Beliau –rahimahullah- berkata :

“Para sahabat, sesungguhnya mereka meluruskan shaf dan melekatkan dua mata kaki sebagian mereka dengan sebagian yang lain, ARTINYA : sesungguhnya tiap satu dari mereka melekatkan mata kaki dengan mata kaki orang di sampingnya UNTUK MEWUJUDKAN  KESETENTANGAN DAN KELURUSAN SHAF. Dan ini (melekatkan mata kaki dan pundak), bukanlah sesuatu yang dimaksudkan. Akan tetapi ia merupakan sesuatu yang dimaksudkan untuk (mewujudkan) sesuatu yang lain, sebagaimana hal ini telah disebutkan oleh para ulama’. Oleh karena itu, jika shaf telah sempurna (penuh) dan manusia telah berdiri, seyogyanya setiap orang untuk menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya untuk merealisasikan kelurusan (shaf). BUKANLAH HAL ITU BERMAKNA, BAHWA SEORANG HARUS MENEMPELKAN(NYA) SECARA TERUS SEPANJANG SHALATNYA.” [Fatawa Arkanil Islam : 312 ].

-Selsai-

Saya katakan:

Pertama, justru fatwa ini meruntuhkan sangkaan lemahmu wahai ustadz yang mengatakan bahwa menempelkan telapak kaki dan pundak tidak ada salafnya (mungkin beliau mngikuti apa yang dikatkan Al-Kasmiri),

Baca baik-baik ucapan syaikh:

"Para sahabat, sesungguhnya mereka meluruskan shaf dan melekatkan dua mata kaki sebagian mereka dengan sebagian yang lain, ARTINYA : sesungguhnya tiap satu dari mereka melekatkan mata kaki dengan mata kaki orang di sampingnya UNTUK MEWUJUDKAN  KESETENTANGAN DAN KELURUSAN SHAF."

Kemudian Syaikh menguatkan lagi:

"...Oleh karena itu, jika shaf telah sempurna (penuh) dan manusia telah berdiri, seyogyanya setiap orang untuk menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya untuk merealisasikan kelurusan (shaf)..."

Ucapan yang sangat jelas bagaikan matahari di siang bolong tanpa awan. Wallahu A'lam, apakah sang ustadz sudah membacanya dengan baik ataukah hanya sekedar lewat dan mengambil titik fokus yang dijadikan hujjah.

Kedua:

Ucapan syaikh "BUKANLAH HAL ITU BERMAKNA, BAHWA SEORANG HARUS MENEMPELKAN(NYA) SECARA TERUS SEPANJANG SHALATNYA."

Saya katakan:

Alhamdulillah, inilah yang kami amalkan. Karena memang menempelkan kaki dan pundak itu kami lakukan di awal waktu shalat sehingga shaf menjadi rapat. Adapun setelahnya maka sebagian mereka tinggal ujung jari yang nempel, sebagian mereka sekalipun tidak begitu nempel tapi tetaplah rapat tidak ada celah, dan sebagian mereka masih berusaha untuk tetap nempel tanpa memaksakan diir Alhamdulillah. Dan memang kebanyakan dari kita tidak bisa berlama-lama meluruskan telapak kakinya dan nempel, karena membuat fokus dan perhatian pindah ke kaki dan membuat tidak khusyu, apalagi mereka yang memang kakinya susah diluruskan maunya nengok arah samping.

Dan tidak dipungkiri ada sebagian dari kita yang berlebih-lebihan dalam hal ini, sehingga sampai membengkokkan kakinya ke samping.

➡Ketiga: Salah paham terhadap ucpan Syaikh Al-Fauzan

Beliau membawakan ucapan syaikh Al-Fauzan,

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafidzahullah- berkata :

“Bukanlah makna merekatkan shaf, apa yang dilakukan oleh sebagai orang-orang bodoh di hari ini berupa perenggangan (ngangkang) kedua kakiya sampai menyempitkan orang yang di sisinya. Karena sesungguhnya amalan ini akan didapatkan celah di dalam shaf, menganggu orang yang shalat, serta tidak ada asalnya dalam syari’at.” [ Al-Mulakhash Al-Fiqhi : 124 ].

-selesai-

Saya katakan:

Wahai ustadz, coba biasakan membaca ucapan ulama dengan baik. Perhatikan ucapan syaikh "berupa perenggangan (ngangkang) kedua kakiya sampai menyempitkan orang yang di sisinya..."

Ucapan ini muqayyad bukan mutlak, yaitu beliau berbicara tentang mereka yang mengangkangkan kaki untuk menempelkannya tapi justru membuat shaf terbuka, dan ini benar dilakukan sebagian orang, yang mereka berusah tempelkan hanyalah kaki tapi pundak terbuka. Sehingga ucapan syaikh bukan mutlak beliau berbicara tentang semua orang yang menempelkan kaki.

Oleh karena itu syaikh berkata:

...Karena sesungguhnya amalan ini akan didapatkan celah di dalam shaf..."

Apakah ada orang menempelkan kaki dan bahunya sesuai sunnah malah membuka celah..????

Faedah:

Banyak kesalahpahaman terjadi karena tidak memperhatikan ucapan mutlaq dan muqayyad para ulama. Sehingga jadinya menempatkan ucapan ulama bukan pada tempatnya.

Kesimpulan:

1-menempelkan telapak kaki atau mata kaki dan pundak ketika merapatkan shaf adl sunnah

2-ini adalah pendapat mayoritas Ulama sebagaimana yang ditetapkan oleh Ulama Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyah

3-bahwasanya perbutan ini memiliki salaf

3-perbuatan ini tidak makruh

4-pendapat yang mengatakan makruh justru tidak memiliki salaf, dan hanya mengiikuti sebagian ulama madzhab kebelakangan seperti Al-Kasymiri Al-Hanafi.

Beberapa keterangan:

1-Menempelkan telapak kaki dan pundak ini dilakukan secara wajar, tanpa memaksakan diri. Jika memang kaki tidak bisa lurus maka tidak perlu dibengkokkan, karena yang terpenting shaf rapat. Jika hanya ujung jari yang bisa ketemu maka tidak mengapa, karena tidak semua orang bisa meluruskan kakinya.

2-Tidak perlu melebarkan kaki untuk menempelkannya, tapi bagian atas malah terbuka celah. Yang dituntut bagi setiap orang adalah merapat ke saudaranya. Bagi mereka yang disebelah kanan imam maka merapatnya ke kiri, dan bagi mereka yang disebelah kiri imam maka merapatnya ke kanan, sehingga dengan ini akan sempurna meraparkan shaf yang dimaksud.

Semoga dengan tulisan ini menambah ilmu dan pencerahan bagi kita semua.

وبالله التوفيق.

17 Ramadhan 1439

Muhammad Abu Muhammad Pattawe,

Darul-Hadits Ma'bar-Yaman.

Bantahan Menempelkan Pundak Dgn Pundak & Mata Kaki Dgn Mata Kaki Makruh?


Alhamdulillah sdh ada bantahan dr tholib di ma'bar..

MENEMPELKAN PUNDAK DENGAN PUNDAK DAN MATA KAKI DENGAN MATA KAKI MAKRUH?

(Tanggapan Atsari Atas Tulisan "Mengurai Salah Paham Tentang Merapatkan & Meluruskan Shaf")

بسم الله الرحمن الرحيم.

Alhamdulillah, merupakan ciri Ahlussunnah adalah semangat untuk mengamalkan sunnah Nabi di atas pemahaman Salaf. Diantara sunnah yang berusaha diamalkan oleh Ahlussunnah di zaman ini adalah merapatkan Shaf dan berusaha merapatkannya dengan menempelkan kaki dan bahu sebisa mungkin tanpa memaksakan diri. Sunnah yang kebanyakan kaum muslimin meninggalkannya di hari ini.

Akan tetapi, sungguh muncul suatu keanehan dari sebagian Da'i yang mengaku intisab ke sunnah menulis suatu tulisan tentang masalah ini dengan kesimpulan darinya yang saya cukupkan darinya 2 poin:

1-Menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak adalah MAKRUH. Karena muncul dari pemahaman terhadap dalil yang keliru, serta menyelisihi pemahaman para salaf, terkhusus para imam yang empat.

2-Bolehnya bahkan dianjurkan ada celah dalam shaf dengan celah yang kurang dari  jarak yang cukup untuk 1 orang, jaraknya sekitar 4 jari atau sejengkal.

✅Tanggapan untuk poin pertama, saya katakan:

➡Pertama, telah datang dari hadits Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي. وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

“Luruskanlah shaf-shaf kalian, sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari balik punggungku.” Anas berkata: Dan setiap orang dari kami menempelkan bahunya pada bahu temannya, dan telapak kakinya pada telapak kaki temannya.” (HR.Al-Bukhari)

Dan telah shahih juga dari Nu'man ibn Basyir radhiyallahu anhu sebagaimana dikeluarkan Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.32.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ilzāq (menempelkan) adalah bentuk mubālaghah (kesungguhan) dalam merapatkan shaf sehingga benar-benar rapat agar tidak ada celah, bukan hakikatnya harus benar-benar menempel antara bahu dengan bahu, mata kaki dengan mata kaki.

Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah:

ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻳﻠﺼﻖ ﻛﻌﺒﻪ ﺑﻜﻌﺐ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻭﻣﻨﻜﺒﻪ ﺑﻤﻨﻜﺒﻪ: ﺇﺧﺒﺎﺭ ﻋﻦ ﺷﺪﺓ ﻣﺒﺎﻟﻐﺘﻬﻢ ﻓﻲ ﺇﻗﺎﻣﺔ اﻟﺼﻔﻮﻑ ﻭﺗﺴﻮﻳﺘﻬﺎ.

Perkataanya: “menempelkan mata kaki pada mata kaki temannya, dan bahu pada bahu temannya.” Adalah mengabarkan sangat bersungguh-sungguhnya para shahabat dalam menegakkan shaf dan meluruskannya. (Al-Majmu:1/422)

Hal yang sama dikemukakan oleh: Al-Hafidz Ibn Hajr, Al-Qisthilani, Al-Aini, Zakariya Al-Anshari, dan selain mereka rahimahumullah.

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa tidak ada dari mereka yang mengatakan bahwa perbuatan

menempelkan antara pundak dengan pundak, mata kaki dengan mata kaki adalah makruh. Bahkan Al-Hafidz Ibnu Hajr menetapkan bahwa perbuatan tersebut ada di zaman Rasulullah shallallah alaihi wasallam.

Beliau berkata:

Pernyataan yang jelas ini (bahwa ucapan tersebut adalah ucapan Anas) memberikan faedah bahwa perbuatan tersebut (yaitu menempelkan pundak dengan pundak, mata kaki dengan mata kaki) ada di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dengan ini, sempurnalah pendalilan dengannya tentang penjelasan maksud menegakkan shaf dan meluruskannya.

(Fathul-Bari:2/211)

Lihat bagaimana beliau menetapkan bahwa perbuatan tersebut ada di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sekarang saya mengajak anda untuk kembali ke masalah Ushul fiqh tentang perbuatan yang dilakukan seorang muslim di zaman Nabi apalagi di saat kehadiran beliau shallallahu alaihi wasallam, akan tetapi beliau tidak ingkari. Ini namanya apa? Ini namanya sunnah Taqririyah. Karena kalau seandainya perbuatan tersebut makruh apalagi mungkar maka beliau telah menjelaskannya, karena tidak boleh meninggalkan penjelasan ketika dibutuhkan, dan bagi beliau adalah wajib menjelaskan kepada umatnya.

Dan yang lebih menguatkan lagi, beliau diberi kemampuan oleh Allah untuk mengetahui keadaan para sahabat di belakang beliau.

Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي.

“Luruskanlah shaf-shaf kalian, sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari balik punggungku.” (HR.Al-Bukhari)

➡Kedua, sang ustadz waffaqanallahu wa iyyah salah paham terhadap atsar Anas, sebagaimana ucapannya:

>Bahkan dalam "Musnad Al-Mushili" disebutkan bahwa perbuatan tersebut sempat DICELA oleh Anas bin Malik:

ﻟﻘﺪ ﺭﺃﻳﺖ ﺃﺣﺪﻧﺎ ﻳﻠﺰﻕ ﻣﻨﻜﺒﻪ ﺑﻤﻨﻜﺐ ﺻﺎﺣﺒﻪ ، ﻭﻗﺪﻣﻪ ﺑﻘﺪﻣﻪ ، ﻭﻟﻮ ﺫﻫﺒﺖ ﺗﻔﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﻟﺘﺮﻯ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﻛﺄﻧﻪ ﺑﻐﻞ ﺷﻤﻮﺱ.

Sungguh aku melihat salah satu dari kami meletakkan pundaknya dengan pundak sahabatnya, kaki dengan kaki sahabatnya. Seandainya hari ini kami melakukan hal ini lagi, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal (peranakan kuda dan keledai) yang menentang/melawan. (6/381)<

-Selesai-

Saya katakan:

Atsar ini adalah atsar Anas yang disebutkan di awal tulisan di atas. Akan tetapi, tambahan "seandainya...dst" dikeluarkan oleh Ibnu Abi syaibah:no.3544 dan selainnya, sanadnya shahih.

Lihat bagaimana sang ustadz salah paham terhadap atsar tersebut, dari sisi mana celaannya?

Justru atsar tersebut adalah hujjah bagi mereka yang berpendapat sunnahnya menempelkan pundak dengan pundak, kaki dengan kaki, dan celaan atas orang yang mengatakan makruh..!!

Pertama: ucapan Anas di atas adalah bentuk pengkabaran apa yang pernah beliau saksikan di zaman Rasulullah shallallah alaihi wasallam, lalu beliau mendapati orang-orang di zamannya sudah mulai menelantarkan sunnah merapatkan shaf, sehingga kalau sekiranya ada yang melakukan seperti yang dilakukan sebagian sahabat (yaitu menempelkan pundak dengan pundak dan kaki dengan kaki) maka orang-orang akan lari karena merasa heran dengan perbuatan tersebut, padahal perbuatan tersebut ada di zaman Nabi dan tidak diingkari oleh beliau dan pada sahabatnya.

Oleh karena itu, berkata Syamsul-Haq Al-Azhim Ãbãdi rahimahullah:

Berkata penulis At-Ta'liq Al-Mughni: hadits-hadits ini padanya terdapat pendalilan yang jelas tentang perhatian terhadap meluruskan shaf..., dan bahwasnya seorang menempelkan pundaknya dengan pundak temannya, kaki dengan kakinya dan lutut dengan lutut. AKAN TETAPI, SEKARANG SUNNAH INI TELAH DITINGGALKAN, KALAU SEKIRANYA DILAKUKAN SEKARANG INI MAKA ORANG-ORANG AKAN LARI SEPERTI KELEDAI LIAR. INNÃ LILLAHI WA INNÃ ILAIHI RÃJIÛN.

(Aunul-Ma'bud:2/256)

Kedua: justru Anas mengingkari orang-orang yang tidak lagi memperhatikan rapatnya shaf. Dari Basyir ibn Yasar dari Anas radhiyallahu anhu:

أَنَّهُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَقِيلَ لَهُ مَا أَنْكَرْتَ مِنَّا مُنْذُ يَوْمِ عَهِدْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَنْكَرْتُ شَيْئًا إِلَّا أَنَّكُمْ لَا تُقِيمُونَ الصُّفُوف

Bahwasanya ia datang ke Madinah, lalu dikatakan kepadanya: “Apakah ada sesuatu yang engkau ingkari dari perbuatan kami sejak engkau bersama Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wasallam_?” Anas bin Malik menjawab: “Tidak ada sesuatu yang aku ingkari dari kalian kecuali kalian tidak meluruskan shaf dalam shalat.” (Riwayat Al-Bukhari)

Saya bertanya: yang Anas ingkari di sini apakah karena mereka menempelkan pundak-pundak dan kaki mereka? Ataukah karena mereka tidak lagi meluruskan dan merapatkan shaf...????

jawabnya karena mereka tidak lagi meluruskan dan merapatkan shaf, karena menempekan kaki dan pundak telah asing di zaman Anas sebagaimana disebutkan pada atsar pertama di atas.

➡Ketiga, sang ustadz menetapkan bahwa perbuatan menempelkan kaki dan pundak menyelisihi pemahaman para salaf, terkhusus para imam yang empat.

Saya katakan:

Telah dijelaskan dalam uraian di atas sehingga nampak siapa sebenarnya yang menyelisihi pemahaman para salaf..!!

Justru mereka yang menetapkan sunnahnya menempelkan kaki dan pundak yang memilki Salaf yaitu perbuatan sebagian sahabat tanpa ada pengingkaran dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan sahabat lainnya.

Bahkan Imam Ahli Qiraah dan Ahli Lughah Al-Kisai rahimahullah (w.189 H) memaknakan "At-Tarãsh" sebagaimana lafaz sebagian hadits, beliau berkata:

ﺃﻥ ﻳﻠﺘﺼﻖ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﺒﻌﺾ، ﺣﺘﻰ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺧﻠﻞ

"Yaitu sebagian mereka nempel dengan yang lainnya, sehingga tidak ada di antara mereka celah."

(Al-Ausat:4/201)

Atsar ini dinukil oleh Ibnul-Mundzir (w.318 H) untuk mentafsirkan makna Tarãsh, sehingga menjadi ketetapan beliau juga.

Bahkan ternyata sebagian ulama madzhab pun berpendapat sunnah.

Berkata Syaikhul-Islam ibnu Taimiyyah Al-Hanbali rahimahullah:

ﻭاﻟﻤﺴﻨﻮﻥ ﻟﻠﺼﻔﻮﻑ ﺧﻤﺴﺔ ﺃﺷﻴﺎء:..

ﻭاﻟﺜﺎﻧﻲ: اﻟﺘﺮاﺹ ﻓﻴﻪ ﻭﺳﺪ اﻟﺨﻠﻞ ﻭاﻟﻔﺮﺝ, ﺣﺘﻰ ﻳﻠﺼﻖ اﻟﺮﺟﻞ ﻣﻨﻜﺒﻪ ﺑﻤﻨﻜﺐ اﻟﺮﺟﻞ, ﻭﻛﻌﺒﻪ ﺑﻜﻌﺒﻪ.

Yang disunnahkan dalam shaf ada 5 perkara,...

Sunnah yang kedua, merapatkan shaf dan menutup celah, sehingga seorang menempelkan pundaknya dengan pundak lainnya, dan mata kakinya dengan mata kakinya.

(Syarhul-Umdah, Sifatush-Shalãh:42)

Masih bilang tidak memiliki salaf..???

➡Adapun penisbatan kepada imam yang empat, maka saya cukupkan tanggapan dengan ucapan Syaikh Abul-Hasan Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri rahimahullah dalam tanggapan poin kedua.

✅Tanggapan untuk poin kedua, yaitu "Bolehnya bahkan dianjurkan ada celah dalam shaf dengan celah yang kurang dari  jarak yang cukup untuk 1 orang, jaraknya sekitar 4 jari atau sejengkal",

Saya katakan:

Justru ini yang TIDAK MEMILIKI SALAF....!!! Datangkan satu sahabat atau tabiin yang menetapkan apa yang anda tetapkan wahai ustadz.!

Saya kira anda tidak akan dapatkan kecuali hanya berpegang dengan pendapat sebagian ulama madzhab yang menyandarkanya ke imam empat.

➡Berkata Syaikh Abul-Hasan Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri rahimahullah:

"Dan tafsirnya bahwa tidak boleh membiayarkan antara (2 orang dalam shaf) adanya celah yang cukup 1 orang adalah perkara yang memiliki sedikitpun dalil dari Naql (Al-Quran & Sunnah) dan tidak pula akal. Dan tidak ada pula sekecil qarinah atau atsar yang paling lemah sekalipun yang menunjukkan makna ini (yaitu tafsiran mereka). Jika seperti ini, maka tafsiran ini termasuk diantara perkara yang diada-adakan oleh sang muqallid yang menjadikan sunnah sebagai bid'ah, dan bid'ah "yaitu tidak menempelkan agar tidak ada celah dan tidak bersambung" menjadi sunnah.

Lalu sang muqallid tidak cukup sampai disitu, bahkan dia nisbahkan apa yang dia ada-adakan kepada Imam Fiqih yang empat.

Maka saya katakan: "MANA DALIL DARI SUNNAH DAN AMALAN SAHABAT TENTANG PENENTUAN JARAK ANTARA KAKI ORANG SHALAT YAITU UKURAN 4 JARI ATAU SEJENGKAL PADA KEADAAN SHALAT SENDIRIAN DAN BERJAMAAH..??

(Mir'ãtul-Mafãtîh:4/5)

Penjelasan beliau rahimahullah sangat jelas. Alhamdulillah.

✅Sebaik-Baik Perkara Adalah Yang Pertengahan

Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan; tidak meremehkan dan, dan tidak berlebih-lebihan. Maka dalam masalah ini hendaklah seorang berusaha untuk benar-benar merapatkan dirinya yaitu menempelkan apa yang bisa ditempelkan baik itu bahu, telapak kaki, atau mata kaki, sebisa mungkin tanpa memaksakan diri. Karena dengan ini akan terwujud shaf yang lurus, rapi, rapat, tanpa celah. Akan tetapi, hendaklah seorang tidak sampai membuat teman disampingnya terganggu, karena sebagian orang jika ditempelkan telapak kakinya akan merasa terganggu apalagi jika sampai kakinya ditekan dengan kuat saat menempelkannya. Sehingga orang yang disamping mengangkat kakinya, sedangkan dia pun melebarkan kakinya, dan yang terjadi adalah adanya celah bagian atas karena bagian kaki teralu lebar. Jadilah dia orang yang ingin menerapkan sunnah tapi saat bersamaan meninggalkan sunnah juga. Dan yang lebih parah lagi sebagian orang membatalkan shalatnya dan pindah ke shaf lain karena hal ini.

Sebagai penguat apa yang penulis katakan di atas, simak ucapan para ulama berikut:

➡Berkata Syaikh Abul-Hasan Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri rahimahullah:

"Yang zhahirnya bahwasanya seorang merenggangkan kakinya ketika berjamaah dengan ukuran yang memudahkannya menutup celah dan rongga, dan menempelkan bahunya dengan bahu temannya, kakinya dengan kaki temannya, TANPA MEMAKSAKAN DIRI DAN BERSUSAH PAYAH."

(Mir'ãtul-Mafãtîh:4/5)

➡Al-Imam Abdul-Aziz ibn Baz rahimahullah ditanya:

Saya mendengar bahwa wajib atas setiap orang yang shalat dalam satu shaf agar telapak kakinya saling bersentuhan (menempel) dengan yang lainnya yang shalat di sampingnya. Apakah hal ini telah datang (dalam sunnah) wahai Syaikh yang Mulia?

Jawab:

Telah datang sunnah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan untuk merapatkan shaf, dan beliau memerintahkan para shahabat untuk saling merapatkan dalam shaf, dan menutupi celahnya. Dan ketika itu sebagian shahabat menempelkan telapak kakinya pada telapak kaki temannya sehingga tidak ada celah. Akan tetapi, tidak ada padanya saling menekan (kaki) dan menyakiti. Dia mendekat kepada teman disampingnya sehingga tidak ada celah. Yang sunnah adalah shaf itu rapat tidak ada celah, inilah sunnah.

Adapun menekankan (telapak kakinya) pada telapak kaki saudaranya maka ini tidak harus, yang terpenting adalah menutupi celah. Karena sebagian orang tidak bisa mentolelir jika orang lain menempelkan kakinya padanya. Jadi, hendaklah (telapak kakinya) berada di samping telapak kaki saudaranya tanpa harus menekan dan tanpa menyakiti, akan tetapi tidak ada celah (dalam shaf).

(Lihat Fatawa Nur Ala-Darb Libni-Baz: Syarith:386 soal no.43)

➡Asy-Syaikh Al-Faqih Muhammad ibn Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya:

Sebagian orang yang shalat karena takut adanya celah antara dirinya dengan orang yang disampingnya ketika shalat, maka dia menempelkan ujung jari kakinya pada orang yang disampingnya, kami mohon nasehatnya!

Beliau menjawab:

Sebagian orang mengira bahwa makna perkataan shahabat _radhiyallahu anhum_: “salah seorang di antara kami menempelkan bahunya pada bahu temannya, telapak kakinya pada telapak kaki temannya.” bahwa yang terpenting adalah menempelkan mata kaki. Maka engkau lihat dia tempelkan kakinya kemudian dia berusaha juga untuk menekannya, karena mata kaki tidak mungkin menempel pada mata kaki lainnya kecuali dengan ditekan. Jika dibiyarkan secara tabiat maka tidak mungkin (bisa menempel)…

Kemudian beliau berkata:

Akan tetapi, sebagian orang engkau dapatkan dia berusaha menempelkan mata kakinya pada mata kaki temannya dan bagian atasnya (bahu) tetap ada celah, karena dia membuka kakinya yang secara otomatis akan terbuka jarak antara bahu.

Dan yang sunnah adalah merapatkan dan meluruskan shaf sebisa mungkin dan tidak menyakiti (mengganggu), Karena merapatkan shaf yang menyakiti juga tidak diragukan lagi adalah tidak disyariatkan. Merapatkan shaf yang dengannya tertutupi celah adalah yang diinginkan (dalam syariat).

(Lihat Majmu Fatawa wa Rasāil:13/52-53)

➡ dan berkata Syaikh Al-Allamah Zaid ibn Muhammad Al-Madkhali rahimahullah:

Tata cara yang sunnah lagi syar'i ketika merapatkan shaf yaitu dengan menempelkan mata kaki seorang dengan mata kaki saudaranya, pundaknya dengan pundaknya, dan menutup celah dan rongga tanpa membuat sempit orang-orang shalat dan tanpa bermudah-mudahan dalam merapatkan, tapi hendaklah pertengahan dan sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan. Wallahu A'lam.

(Al-Aqdu Al-Munaddhad Al-Jadid, dengan perantara: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=2671&r=1)

Kesimpulan:

Hendaklah seorang muslim berusaha sebisa mungkin merapatkan shafnya tanpa memaksakan diri, jika bisa ditempelkan bahu dan kaki maka itu yang diinginkan, jika tidak maka jangan dipaksakan, apalagi jika sampai menekan kaki dan membengkokkannya yang membuat orang lain terganggu.

Semoga Allah memberikan kita kekuatan dalam menerapkan sunnah NabiNya shallallahu alaihi wasallam.

الحمد لله رب العالمين

وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

15 Ramadhan 1439,

Muhammad Abu Muhammad Pattawe,

Darul-Hadits Ma’bar-Yaman.

Saluran 1 Radio An-Nashihah

Saluran 2 Radio An-Nashihah

Terbaru

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Berlangganan

Sign Up in Seconds

Dapatkan Artikel Terbaru Kami Melalui Email.

Powered By : Al-Haudh

Facebook

Youtube

 
//