ﻭﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﻗﺎﻝ: «ﻛﺎﻥ ﺃﺣﺪﻧﺎ ﻳﻠﺰﻕ ﻣﻨﻜﺒﻪ ﺑﻤﻨﻜﺐ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻭﻗﺪﻣﻪ ﺑﻘﺪﻣﻪ»، ﻭﻫﺬا ﺇﺟﻤﺎﻉ.
Dari Anas beliau berkata:
"Salah seorang dari kami menempelkan pundaknya dengan pundak temannya, dan telapak kakinya dengan telapak kakinya."
Ini adalah Ijma.
(Al-Iqnã':1/50)
Maksud beliau adalah kesepakatan Sahabat tentang disyariatkannya meluruskan dan merapatkan shaf.
Lihat bagaimana Ibnul-Qatthan menjadikan perbuatan satu orang yang dihikayatkan oleh Anas sebagai ijma para sahabat. Kalau seandainya perbuatan tersebut makruh maka tidak bisa dijadikan dalil atas disyariatkan meluruskan dan merapatkan shaf. Pahami ini baik-baik maka engkau akan dapatkan faedah yang berharga.
➡Kedua: Salah paham terhadap ucapan Syaikh Utsaimin rahimahullah
Beliau waffaqanallahu wa iyyah berkata:
Seorang alim salafy, asy-syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- juga menjelaskan sebagaimana yang dipahami oleh para imam yang telah berlalu penyebutannya. Bahkan beliau menambahkan, bahwa penempelan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak itu hanya sarana (alat ukur) untuk menentukan kelurusan dan kerapatan shaf saja. Begitu sudah lurus, tidak ditempelkan lagi.
Kemudian shalat baru dimulai.
Beliau –rahimahullah- berkata :
“Para sahabat, sesungguhnya mereka meluruskan shaf dan melekatkan dua mata kaki sebagian mereka dengan sebagian yang lain, ARTINYA : sesungguhnya tiap satu dari mereka melekatkan mata kaki dengan mata kaki orang di sampingnya UNTUK MEWUJUDKAN KESETENTANGAN DAN KELURUSAN SHAF. Dan ini (melekatkan mata kaki dan pundak), bukanlah sesuatu yang dimaksudkan. Akan tetapi ia merupakan sesuatu yang dimaksudkan untuk (mewujudkan) sesuatu yang lain, sebagaimana hal ini telah disebutkan oleh para ulama’. Oleh karena itu, jika shaf telah sempurna (penuh) dan manusia telah berdiri, seyogyanya setiap orang untuk menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya untuk merealisasikan kelurusan (shaf). BUKANLAH HAL ITU BERMAKNA, BAHWA SEORANG HARUS MENEMPELKAN(NYA) SECARA TERUS SEPANJANG SHALATNYA.” [Fatawa Arkanil Islam : 312 ].
-Selsai-
Saya katakan:
Pertama, justru fatwa ini meruntuhkan sangkaan lemahmu wahai ustadz yang mengatakan bahwa menempelkan telapak kaki dan pundak tidak ada salafnya (mungkin beliau mngikuti apa yang dikatkan Al-Kasmiri),
Baca baik-baik ucapan syaikh:
"Para sahabat, sesungguhnya mereka meluruskan shaf dan melekatkan dua mata kaki sebagian mereka dengan sebagian yang lain, ARTINYA : sesungguhnya tiap satu dari mereka melekatkan mata kaki dengan mata kaki orang di sampingnya UNTUK MEWUJUDKAN KESETENTANGAN DAN KELURUSAN SHAF."
Kemudian Syaikh menguatkan lagi:
"...Oleh karena itu, jika shaf telah sempurna (penuh) dan manusia telah berdiri, seyogyanya setiap orang untuk menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya untuk merealisasikan kelurusan (shaf)..."
Ucapan yang sangat jelas bagaikan matahari di siang bolong tanpa awan. Wallahu A'lam, apakah sang ustadz sudah membacanya dengan baik ataukah hanya sekedar lewat dan mengambil titik fokus yang dijadikan hujjah.
Kedua:
Ucapan syaikh "BUKANLAH HAL ITU BERMAKNA, BAHWA SEORANG HARUS MENEMPELKAN(NYA) SECARA TERUS SEPANJANG SHALATNYA."
Saya katakan:
Alhamdulillah, inilah yang kami amalkan. Karena memang menempelkan kaki dan pundak itu kami lakukan di awal waktu shalat sehingga shaf menjadi rapat. Adapun setelahnya maka sebagian mereka tinggal ujung jari yang nempel, sebagian mereka sekalipun tidak begitu nempel tapi tetaplah rapat tidak ada celah, dan sebagian mereka masih berusaha untuk tetap nempel tanpa memaksakan diir Alhamdulillah. Dan memang kebanyakan dari kita tidak bisa berlama-lama meluruskan telapak kakinya dan nempel, karena membuat fokus dan perhatian pindah ke kaki dan membuat tidak khusyu, apalagi mereka yang memang kakinya susah diluruskan maunya nengok arah samping.
Dan tidak dipungkiri ada sebagian dari kita yang berlebih-lebihan dalam hal ini, sehingga sampai membengkokkan kakinya ke samping.
➡Ketiga: Salah paham terhadap ucpan Syaikh Al-Fauzan
Beliau membawakan ucapan syaikh Al-Fauzan,
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafidzahullah- berkata :
“Bukanlah makna merekatkan shaf, apa yang dilakukan oleh sebagai orang-orang bodoh di hari ini berupa perenggangan (ngangkang) kedua kakiya sampai menyempitkan orang yang di sisinya. Karena sesungguhnya amalan ini akan didapatkan celah di dalam shaf, menganggu orang yang shalat, serta tidak ada asalnya dalam syari’at.” [ Al-Mulakhash Al-Fiqhi : 124 ].
-selesai-
Saya katakan:
Wahai ustadz, coba biasakan membaca ucapan ulama dengan baik. Perhatikan ucapan syaikh "berupa perenggangan (ngangkang) kedua kakiya sampai menyempitkan orang yang di sisinya..."
Ucapan ini muqayyad bukan mutlak, yaitu beliau berbicara tentang mereka yang mengangkangkan kaki untuk menempelkannya tapi justru membuat shaf terbuka, dan ini benar dilakukan sebagian orang, yang mereka berusah tempelkan hanyalah kaki tapi pundak terbuka. Sehingga ucapan syaikh bukan mutlak beliau berbicara tentang semua orang yang menempelkan kaki.
Oleh karena itu syaikh berkata:
...Karena sesungguhnya amalan ini akan didapatkan celah di dalam shaf..."
Apakah ada orang menempelkan kaki dan bahunya sesuai sunnah malah membuka celah..????
Faedah:
Banyak kesalahpahaman terjadi karena tidak memperhatikan ucapan mutlaq dan muqayyad para ulama. Sehingga jadinya menempatkan ucapan ulama bukan pada tempatnya.
Kesimpulan:
1-menempelkan telapak kaki atau mata kaki dan pundak ketika merapatkan shaf adl sunnah
2-ini adalah pendapat mayoritas Ulama sebagaimana yang ditetapkan oleh Ulama Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyah
3-bahwasanya perbutan ini memiliki salaf
3-perbuatan ini tidak makruh
4-pendapat yang mengatakan makruh justru tidak memiliki salaf, dan hanya mengiikuti sebagian ulama madzhab kebelakangan seperti Al-Kasymiri Al-Hanafi.
Beberapa keterangan:
1-Menempelkan telapak kaki dan pundak ini dilakukan secara wajar, tanpa memaksakan diri. Jika memang kaki tidak bisa lurus maka tidak perlu dibengkokkan, karena yang terpenting shaf rapat. Jika hanya ujung jari yang bisa ketemu maka tidak mengapa, karena tidak semua orang bisa meluruskan kakinya.
2-Tidak perlu melebarkan kaki untuk menempelkannya, tapi bagian atas malah terbuka celah. Yang dituntut bagi setiap orang adalah merapat ke saudaranya. Bagi mereka yang disebelah kanan imam maka merapatnya ke kiri, dan bagi mereka yang disebelah kiri imam maka merapatnya ke kanan, sehingga dengan ini akan sempurna meraparkan shaf yang dimaksud.
Semoga dengan tulisan ini menambah ilmu dan pencerahan bagi kita semua.
وبالله التوفيق.
17 Ramadhan 1439
Muhammad Abu Muhammad Pattawe,
Darul-Hadits Ma'bar-Yaman.